Sabtu, 12 Desember 2009

I DZIKIR AND I HENCE I AM Versus I THINK AND THEREFORE I AM
(Sistem Ekonomi Islam Versus Ekonomi Kapitalis)


I Think and therefore I am. “Aku Berpikir, dan karena itu Aku Ada” Demikian ungkapan Immanuel Kant. Kant lahir di Konigsberg, 22 April 1724 dan meninggal di kota yang sama 12 Februari 1804. Seorang filsuf Jerman ini telah dipengaruhi oleh Rene Descartes (Perancis, 1596 – 1650). Berarti telah 2 abad sebelumnya Descartes telah meletakkan dasar ini. Pemikiran ini yang memberikan pemahaman kepada kita, bahwa keberadaan (eksistensi) manusia ditentukan oleh seberapa jauh dan seberapa seriusnya kita memanfaatkan dan memberdayakan pemikiran kita. Pandangan Kant, menunjukkan bahwa Akal pikiran menjadi pangkal segalanya dalam melihat realitas kehidupan. Kehidupan merupakan sebuah realitas yang harus dipahami sebagai sebuah konsekuensi akal. Didalamnya termasuk realitas kehidupan ekonomi. Dalam pandangan Kant (dengan Rasionalismenya) dunia adalah sebuah wujud materi yang realistis. Paham ini juga yang kemudian melahirkan pemahaman materialisme atau paham kebendaan. Materi dipandang sebagai sesuatu yang serba bebas nilai (value free). Tidak lebih dari itu. Jika dilihat dari KantDogma ini bertahan lama hingga kurang lebih 2 abad lamanya. Karena itu, maka sistem ekonomi dunia barat (western) meng-Ilah-kan pada paradigma ini.
Teori yang sudah menjadi dogmatis ini kemudian dibantah (diruqyah) oleh Hidayat Nataatmaja. Dalam karya agungnya “General Theory of The Light of Science” (2006) Hidayat membantah keras atas pandangan-pandangan Barat yang sudah berkiblat pada Kantstian ini. “I Think and therefore I am” telah membawa “kesesatan” yang nyata pada berbagai prinsif kehidupan manusia pada zamannya dan zaman berikutnya. Hidayat memandang bahwa alam dan wujud ini tidak serta merta hadir (Ontolgism: sesuatu yang ada) dengan sendirinya, begitupan berbagai materi yang menempel padanya—termasuk manusia—hanyalah merupakan sebagian kecil dari wujud materi alam ini. Sehingga manusiapun dengan AKALnya hanyalah manusia biologis yang tidak berdaya
Pendekatan yang dilakukan oleh Hidayat bukan saja dipandang BENAR secara pendekatan transendental (transendental approach) namun secara pendekatan ilmiah (science approach) pun telah dapat dibuktikan kebenaranya. Bahwa alam ini—termasuk manusia didalamnya—tidaklah wujud dengan sendirinya karena adanya persenyawaan unsur-unsur material saja, tetapi keterikatan dengan sebuah Hukum Ilahiyah yang tidak dapat dijangkau oleh pendekatan AKAL semata yang para pemikir menyebutnya pendekatan ilmiah. Tetapi harus diingat bahwa pendekatan transendental jauh lebih dapat diterima karena ini adalah diluar nalar manusia. Artinya adanya sebuah keterkaitan dengan yang menciptakan Akal. Tentu berbagai kepercayaan (agama) apapun di dunia akan mengatakan sepakat ialah Alloh SWT. Meski dengan bahasa lisan (logat), istilah yang berbeda dengan mengistilahkan “Tuhan” namun intinya sama akan bermuara pada makna luhur yakni Alloh SWT.

Pada hakikatnya kita telah melakukan transaksi transendental saat kita di alam ruh. sebagaimana Alloh SWT menggambarkan dalam Al-Qur’an Surat Al’araf ayat 172:


172. Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".
Ayat tersebut memberikan penegasan pada kita bahwasannya hidup kita berawal dari alam rahim. Alam rahim merupakan alam pertama yang manusia lalui Dalam Alam rahim inilah, saat dimana manusia diciptakan dari setes air mani yang kemudian Alloh rubah menjadi segumpal darah kemudian berubah menjadi segumpal daging, lalu daging itu Alloh bungkus dan dan menjadi sesuatu yang berbentuk. Makna inilah yang kemudian Alloh tiupkan ruh sehingga jadilah apa yang disebut sebagai manusia.
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baik." (QS. Al-Mu'minun : 12-14).
Sebagai manusia, hakikatnya kita telah melakukan transaksi dengan Alloh. Transakti dalam pengertian telah melakukan sebuah persaksian (bersyahadah). Bahwasannya kita telah mengakui bahwa Alloh adalah TUHAN kita. Dr. Murasa menyebutnya sebagai dzikirnya manusia saat di alam rahim. Dzikir adalah getar menggetar antara RUH dalam diri manusia dengan dzat Alloh SWT. Sehingga dalam konteks kekinian dzikir kita saat di alam rahim jangan sampai terkalahkan oleh berbagai bentuk godaan yang memalingkan kita dari kebenaran Alloh SWT.
Pada posisi dimana kita akan dihadapkan dengan dua pilihan, sebagai cerminan potensi antara ilham fujur dan ilham taqwa. Ilham taqwa merupakan cerminan potensi yang mengedepankan akal sehat sehingga membawa diri kepada kebaikan. Sementara ilham fujur merupakan potensi yang mengedepankan akal busuk sehingga membawa diri pada keburukan. Padahal lebih penting dari itu adalah “I DZIKIR AND I HENCE I AM” Saya Berdzikir Maka Saya Ada. .
Versi ini sebenarnya bukan saja berbeda namun lebih dari itu, makna yang tersurat maupun yang tersirat dari kata-kata bijak ini bertentangan dengan pendapatnya Kant. Betapa tidak Kant lebih mengedepankan AKAL, sementara Hidayat Nataatmaja lebih berpijak pada kepastian Agama tentang eksistensi Tuhan (baca: Alloh SWT).
I dzikir and I hence I am merupakan ungkapan suara hati yang dilakukan dengan pendekatan Ilmu Ma’rifat. Sementara I think and therefore I am merupakan ungkapan kata hati yang dilakukan melalui pendekatan Ilmu Pengetahuan. I dzikir and I hence I am dalam bahasa Ibnu Arabi merupakan Mantik Rasa yang pada gilirannya akan melahirkan aktivitas-aktivitas yang berpijak pada landasan dzikir. Sementara I think and therefore I am dilahirkan oleh Mantik Akal yang akan melahirkan paham-paham sekuler karena akal yang selalu menjadi barometer kebenaran. Padahal kebenaran itu datangnya dari ALLOH SWT maka janganlah kita menjadi orang-orang yang meragukan kebenaran (AL-QUR’AN) tersebut.
Dalam konteks khazanah keilmuan ekonomi, tampaknya ada beberapa poin penting yang dapat ditawarkan kaitannya dengan masalah paradigma di atas. Apabila sistem ekonomi yang dibangun dengan berbasis pada konsep ilahiyah, maka sebuah keniscayaan bahwa kesejahteraan masyarakat sesuai dengan prinsif ekonomi akan tercapai. nilai-nilai ekonomi yang mengedepankan kebaikan, keadilan, kejujuran dan keterbukaan menjadi kata kunci (key word) dalam proses implementasinya. Dengan pendekatan ekonomi Islam yang komprehensif sebuah keniscayaan wajah peradaban Islam akan kembali jaya. Dalam rumusan Ibn Al-Qayyim bahwa untuk mencapai keberhasilan sebuah peradaban harus mengedepankan konsep The seven creative satisfaction (7 kepuasan). Postulat tersebut adalah:
1) dari ragu kepada yakin,
2) dari kebodohan kepada ilmu,
3) dari lalai kepada ingat,
4) dari khianat kepada amanat,
5) dari riya’ kepada ikhlas,
6) dari lemah kepada teguh, dan
7) dari sombong kepada tahu diri.

Selanjutnya yang patut dipahami kembali adalah bahwa hakikat esensi Islam mengatur berbagai aspek kehidupan tanpa terkecuali pada aspek ekonomi. Pada tataran ini Islam bukan saja mengatur pada aspek-aspek yang sifatnya aqidah dan syari’ah saja, tapi bab muamalahpun menjadi sesuatu yang diperhatikan. Islam mengatur bagaimana hubungan antar sesama terjalin dengan baik, ukhuwah islamiyah menjadi sesuatu yang tidak terlupakan.
Untuk konteks kekinian, sistem ekonomi kapitalis sudah tidak relevan lagi dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat dunia. Buktinya, budaya masyarakat dan para pelaksana ekonomi yang konsumeris tidak lagi mengindahkan nilai kebenaran dan keadilan. Sehingga pada gilirannya akan bermuara pada satu komitmen bersama bahwa adil, merata, tidak main curang adalah keinginan bersama yang harus terpenuhi.
Konsep yang ditawarkan Islam sudah sangat jelas. Islam mengakomodir setiap hajat manusia tanpa mengecualikan orang diluar Islam. Sehingga dalam Islam tidak akan mengenal istilah moneter atau krisis ekonomi.
Krisis ekonomi dunia saat ini bukanlah yang pertama maupun yang terakhir. Boleh dikatakan, sejarah ekonomi Kapitalisme adalah sejarah krisis. Roy Davies dan Glyn Davies (1996), dalam buku The History of Money From Ancient time to Present Day, menguraikan sejarah kronologi krisis ekonomi dunia secara menyeluruh. Menurut keduanya, sepanjang Abad 20 telah terjadi lebih 20 kali krisis besar yang melanda banyak negara. Ini berarti, rata-rata setiap 5 tahun terjadi krisis keuangan hebat yang mengakibatkan penderitaan bagi ratusan juta umat manusia.
Krisis ekonomi sudah terjadi sejak tahun 1907; disusul dengan krisis ekonomi tahun 1923, 1930, 1940, 1970, 1980, 1990, dan 1998 – 2001 bahkan sampai saat ini. Di Asia Tenggara sendiri—khususnya Thailand, Malaysia dan Indonesia—krisis pernah terjadi pada tahun 1997-2002 hingga saat ini.
Untuk kembali mengingat kembali perjalanan sejarah ekonomi Islam kita dapat mengambil ibroh (pelajaran) dari kisah Rasulullah saat membangun Sistem Ekonomi Islam. Sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, pasar dan sistem perdagangan di kota itu dikuasai dan dimonopoli sepenuhnya oleh orang–orang Yahudi. Maju mundurnya masyarakat Madinah saat itu secara tidak langsung diatur oleh kapitalis Yahudi. Di dalam masyarakat terjadi penindasan, penzaliman dan riba dimana–mana. Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, maka selaku pemimpin, Baginda tidak bisa berdiam diri melihat kekacauan masyarakat Madinah yang bersumber pada eksploitasi oleh sistem ekonomi kapitalis. Langkah yang diambil Baginda adalah mengerahkan Sayidina Abdurrahman bin Auf, seorang hartawan, untuk membangun sistem ekonomi bertaraf ALLAH dan Rasul. Sayidina Abdurrahman bin Auf memulai dengan membangun pasar yang dikelola seratus persen oleh umat Islam sendiri berlokasi tidak jauh dari pasar Yahudi, yang kemudian diberi nama “Suqul Anshar“ atau pasar Anshar.
Semua orang Islam dihimbau untuk berjual beli dan melakukan semua aktivitas perdagangan di pasar itu tanpa bekerjasama sedikitpun dengan Yahudi dan tanpa terlibat dengan segala produk atau barang mereka. Dengan semangat perpaduan serta ketaatan pada ALLAH dan Rasul-Nya umat Islam saat itu menumpukan perhatian semata-mata di Suqul Anshar. Bahkan bukan itu saja, karena dalam sistem ekonomi Islam tidak ada penindasan atau riba serta amat memberi kemudahan dan di dalamnya juga terdapat semangat perpaduan dan rasa ber-Tuhan yang tajam, maka banyak orang bukan Islam dan orang luar kota pun tertarik untuk berdagang ke Suqul Anshar.
Hasil dari perjuangan itu maka dalam waktu singkat ekonomi Madinah beralih ke tangan umat Islam, sehingga ekonomi Yahudi yang sudah ratusan tahun, gulung tikar dan bangkrut bahkan mereka menjadi miskin dan akhirnya menutup pasar mereka. Dan karena sebab itu jugalah maka sampai saat ini mereka sangat membenci dan dendam pada umat Islam dan sangat menginginkan secara ekonomi, umat Islam berada dalam kekuasaan mereka tanpa umat Islam menyadarinya. Inilah sistem ekonomi Islam yang benar-benar akan menjamin kesejahteraan masyarakat dan bebas dari guncangan krisis ekonomi.
Sistem ini terbukti telah mampu menciptakan kesejahteraan umat manusia—Muslim dan non-Muslim—tanpa harus selalu berhadapan dengan krisis ekonomi yang secara berkala menimpa, sebagaimana dialami sistem ekonomi Kapitalisme.
Pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab (13-23 H/634-644 M), misalnya, hanya dalam 10 tahun masa pemerintahannya, kesejahteraan merata ke segenap penjuru negeri. Pada masanya, di Yaman, misalnya, Muadz bin Jabal sampai kesulitan menemukan seorang miskin pun yang layak diberi zakat (Abu Ubaid menuturkan, Al-Amwâl, hlm. 596). Pada masanya, Khalifah Umar bin al-Khaththab mampu menggaji guru di Madinah masing-masing 15 dinar (1 dinar=4,25 gr emas). (Ash-Shinnawi, 2006).
Lalu pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/818-820 M), meskipun masa Kekhilafahannya cukup singkat (hanya 3 tahun), umat Islam terus mengenangnya sebagai khalifah yang berhasil menyejahterakan rakyat. Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu, berkata, “Ketika hendak membagikan zakat, saya tidak menjumpai seorang miskin pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan setiap individu rakyat pada waktu itu berkecukupan.” (Ibnu Abdil Hakam, Sîrah ‘Umar bin Abdul ‘Azîz, hlm. 59).
Pada masanya, kemakmuran tidak hanya ada di Afrika, tetapi juga merata di seluruh penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Bashrah. Begitu makmurnya rakyat, Gubernur Bashrah saat itu pernah mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz, “Semua rakyat hidup sejahtera sampai saya sendiri khawatir mereka akan menjadi takabur dan sombong.” (Abu Ubaid, Al-Amwâl, hlm. 256).
Begitulah sejarah emas kaum Muslim pada masa lalu. Dengan melaksanakan semua syariah Allah dalam seluruh aspek kehidupan—termasuk dalam ekonomi—sebagai wujud ketakwaan kepada-Nya, Allah telah menurunkan keberkahan-Nya dari langit dan bumi kepada kaum Muslim saat itu. Mahabenar Allah Yang berfirman:
Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Namun, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu. Karena itulah, Kami menyiksa mereka akibat perbuatan mereka itu (QS al A’raf [7]: 96).
Demikianlah, perpaduan umat Islam saat itu dalam ketaatan kepada ALLAH dan Rasul-Nya, berhasil membangun ekonomi Islam dan sekaligus merobohkan musuh tanpa berperang secara fisik. Dan seharusnya kita sebagai umat Islam meneladani dan mengikuti sunnah Nabi kita sebagai suatu strategi untuk membangun sistem ekonomi Islam.
Keterkaitan dengan Local Wisdom maka paling tidak kita harus mengetahui secara pendekatan terminology dan epistemologi dulu. Istilah local wisdom (kearifan lokal) mempunyai arti yang sangat mendalam dan menjadi suatu kosa kata yang sedang familiar di telinga kita akhir-akhir ini. Banyak ungkapan dan perilaku yang bermuatan nilai luhur, penuh kearifan, muncul di komunitas lokal sebagai upaya dalam menyikapi permasalahan kehidupan yang dapat dipastikan akan dialami oleh masyarakat tersebut. Realita ini muncul ke permukaan karena tidak adanya solusi global yang dapat membantu memberikan jawaban terhadap segala kejadian yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka. Premis-premis umum yang selama ini menjadi standar bersama dalam membedah dan "mengobati" setiap penyakit yang timbul sudah tidak lagi menjangkau permasalahan yang mengemuka di komunitas lokal. Masyarakat yang menghuni di suatu tempat tertentu sudah dapat menyelesaikan permasalahannya dengan solusi yang penuh kearifan tanpa harus memakai standar yang berlaku secara umum.
Di sisi lain, komunitas lokal (local community) menjawab tantangan kehidupan ini dengan kearifan dan kebijaksanaan yang dimilikinya. Kearifan atau kebijaksanaan (wisdom) tersebut muncul bisa jadi karena pengalaman yang selama ini terjadi telah menjadikannya sebagai jawaban dan solusi terhadap masalah yang sedang dihadapinya. Faktor ke-terlibatan para pendahulu, nenek moyang, yang mewariskan tradisi tersebut kepada generasi berikutnya menjadi sangat penting bagi terjaganya kearifan tersebut. Dalam perkembangannya, bisa jadi kearifan yang timbul antar komunitas lokal itu berbeda dengan yang lainnya, tanpa menghilangkan subtansi yang dimiliki dari nilai kearifan tersebut, yaitu berfungsi sebagai solusi terhadap masalah yang ada di sekitanya. Sehingga, dalam beberapa hal akan memungkinkan timbulnya kearifan yang beranekaragam dari komunitas lokal tersebut, walau dengan obyek permasalahan yang sama.
Sebagai misal, orang Jawa yang tinggal di daerah gunung atau pedesaan akan berbeda kearifannya dengan orang Jawa yang tinggal di perkotaan tetkala sama-sama melihat permasalahan mereka di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Orang Jawa gunung-pedesaan akan mempunyai kecenderungan menjadi seorang petani yang tangguh lagi ulet dalam menghadapi tuntutan kehidupan dan lingkungan. Faktor alam juga menjadi penopang bagi diri orang Jawa gunung-pedesaan untuk menjadi seorang petani dari pada menjadi seorang pedagang atau bekerja di pabrik dan industri. Lain halnya dengan orang Jawa yang tinggal dan hidup di daerah perkotaan akan mempunyai kearifan lain yang menuntun dirinya sebagai seorang pedagang atau sebagai karyawan yang bekerja di perusahaan swasta atau bekerja sebagai pejabat di instansi pemerintahan dari pada bekerja sebagai seorang petani.
Contoh sederhana yang lainnya, dalam adat sunda terujar “tong cicing di lawang panto, matak nongtot jodo” (jangan duduk dipintu, nantinya tidak dapat jodo) dan “tong sasapu tipeuting matak jauh rejeki” (jangan menyapu malam-malam, akan menjauhkan rejeki).
Istilah-istilah yang muncul dalam kebiasaan orang sunda ini tidak ada salahnya
***
Ekonomi Islam di Indonesia secara riil sudah dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat muslim pada tingkat keluarga. Bahkan, komunitas muslim tertentu telah men-jalankan tata cara pemenuhan kebutuhan hidupnya dengan penuh kearifan dan kebijak-sanaan. Nilai-nilai wisdom (kearifan) tersebut dijadikan acuan di dalam melakukan kegiatan ekonomi. Dalam hal ini, ekonomi Islam difahami sebagai tata cara pemenuhan kebutuh-an hidup yang orientasinya didasarkan pada aturan syariah Islam untuk pencapaian keridhaan Allah Swt. Terminologi normative ini akan dapat diaplikasikan secara riil oleh umat Islam jika ada standar nilai ketaatan kepada aturan yang sudah baku terhadap nash-nash al-Qur'an atau Sunnah Nabawiyah. Banyak ayat al-Qur'an dan as-Sunnah yang memberikan panduan terhadap umat Islam untuk melakukan kegiatan ekonomi yang sesuai dengan petunjuk-Nya. Larangan riba, promosi jual beli, hidup sederhana, tidak bertindak berlebihan atau melampaui batas (no israf), tidak berbuat kerusakan (no fasad), intensifikasi zakat dan shadaqah, serta perintah bekerjasama dalam usaha adalah deretan ajaran Islam yang mengandung nilai ekonomi.
Perilaku ekonomi umat Islam mengarah kepada nilai-nilai dasar yang telah digariskan dalam ajaran Islam seperti yang ada di atas. Praktek riba sudah divonis sebagai sesuatu yang haram dan harus ditinggalkan oleh pelaku ekonomi muslim. Pengharaman riba ini menjadi sesuatu yang fundamental dalam ekonomi Islam. Bahkan, instrumen riba tersebut menjadi pembeda antara status orang muslim dengan orang kafir. Artinya, pelaku praktek riba sudah tidak diakui keislamannya dan termasuk kepada golongan orang-orang yang kafir. Mengapa ajaran Islam memberikan penegasan seperti ini? Hal ini dikarenakan riba menjadi sesuatu yang mengerikan dan merusak sistem perekonomian. Dengan riba, ada pihak yang didzalimi. Bahkan, riba merupakan salah satu penyebab krisis ekonomi. Keseimbangan (equilibrium) dalam ekonomi akan tercabut tetkala praktek riba menjadi pondasi setiap kegiatan ekonomi. Maka tidak salah, jika masyarakat kita memberikan laqob (gelar) kepada para pengambil riba sebagai "lindah darat". Lintah adalah suatu binatang yang biasa tinggal di air dengan darah sebagai menu kesukaannya. Jika ada "lindah darat" maka mereka adalah pengambil riba yang menghisab darah masyarakat di darat melalui pengembangbiakan uang dengan sistem bunga. Secara historis, pelarangan praktek riba sudah ada sejak zaman dahulu. Sebelum Nabi Muhammad Saw membawa risalah keislaman, Nabi-Nabi terdahulu sudah menegaskan akan keharaman riba. Bahkan, para filosof Yunani Kuno sudah memberikan kecaman yang keras terhadap praktek riba.
Sebagai solusinya, ajaran Islam mempromosikan jual-beli sebagai satu model pengganti praktek riba. Dalam al-Qur'an ditegaskan secara nyata bahwa jual-beli me-rupakan sesuatu yang halal untuk dipraktekkan dalam mengisi kegiatan ekonomi. Dengan adanya jual-beli berarti meneguhkan kembali nilai keseimbangan ekonomi, karena di dalamnya terjadi interaksi antara pihak pemilik barang (penjual) dan pihak yang memiliki uang (pembeli). Realita ini menguatkan terjadinya sirkulasi barang dan uang secara riil. Seumpamanya, selama dalam kurun waktu satu tahun tidak terjadi transaksi jual-beli akan dapat dipastikan adanya penumpukkan barang dan uang pada satu pihak. Oleh karena itu, ajaran Islam memandu umatnya untuk melakukan jual-beli secara tidak langsung telah memberikan andil dalam proses penyehatan kegiatan ekonomi.
Nilai ekonomi Islam yang lain dapat berupa peniadaan sikap berlebihan dan berbuat kerusakan dalam menjalankan aktifitas ekonomi. Kedua perilaku ini termasuk ke dalam negative action yang membawa kepada implikasi terjadinya ketidakseimbangan ekonomi atau bahkan ketidakseimbangan kosmos ini sendiri. Dalam skala ekonomi mikro, perilaku berlebihan akan berakibat pada tidak terdistribusikan barang konsumsi secara merata, karena ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkannya dalam porsi yang tidak wajar, sudah berlebihan, sedang di pihak lain ada yang mengalami kekurangan dalam mengkonsumsi barang yang diperlukan.
Adanya pembalakan liar beberapa hutan di kawasan nusantara memberikan konstribusi peningkatan kerusakan di alam. Aturan normativ syariah Islam menuntun bagi umatnya untuk selalu menjauhi perbuatan yang mengarah kepada kerusakan lingkungan. Beberapa masyarakat yang tinggal di sekitar hutan telah menyadari akan pentingnya keseimbangan hidup di lingkungan sekitar. Masyarakat sekitar hutan telah memahami sekaligus telah mempraktekkan pengetahuan tentang ekonomi lingkungan. Bagaimana cara memenuhi kebutuhan hidup dengan bersandar pada hutan yang ada di lingkungannya? Mereka menjadikan hutan dan lingkungan sekelilingnya seperti nyawa yang ada di badannya. Hubungan simbiosis yang saling menguntungan ini tetap terjaga secara harmoni. Karena, jika hutan yang ada di lingkungan sekitarnya mengalami kerusakan secara tidak langsung akan mengancam jiwanya. Begitulah, sikap kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat pinggiran hutan. Perbuatan mereka ini telah mencerminkan pelaksanaan ekonomi Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Lain halnya, dengan perilaku yang dijalani oleh petani yang tinggal di pedesaan. Kesederhaan telah menjadi gaya hidup mereka. Pagi hari, para petani pergi bersama ke sawahnya. Mereka bercocok tanam dengan berharap agar pengelolaan sawahnya dapat memberikan penghasilan yang nantinya bisa dinikmati untuk memenuhi kebutuhan hidup-nya. Mereka adalah sosok pribadi yang terlatih untuk menjalani hidup dengan selalu tawakkal kepada Allah SWT, Dzat Yang Mengatur kehidupan di alam ini. Hanya karena kemurahan dan anugerah dari Allah Swt, para petani dapat menikmati hasil panen sawah yang dikelolanya dengan penuh kesabaran. Perilaku kehidupan petani ini telah mencermin-kan adanya kearifan lokal (local wisdom) yang terus dipertahankan oleh mereka. Betapa indahnya mengarungi kehidupan ini dengan diterangi oleh sinar-sinar kearifan lokal yang bersumber dari ajaran ekonomi Islam. Wallohu’alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Azmah Iqtishadiyah
Krisis ekonomi, periode berakhirnya suatu kemakmuran, ditandai oleh penurunan pertumbuhan ekonomi

Auraq Maliyah
Sekuritas; bukti utang-piutang atau bukti kepemilikan modal yang dapat dipindah-tangankan; surat berharga tersebut dapat berupa saham istimewa atau saham biasa

Aswaq kharijiyah
Pasar valuta asing (foreign exchange market); suatu pasar (market) yang mempertemukan pembelian dan penjualan mata uang asing

Ashum 'Adiyah
Saham biasa; adalah saham tanpa hak istimewa

Ashil
Pihak yang dijamin atau tertanggung ; suatu pihak dalam akad kafalah yang pada dasarnya mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan kepada seseorang atau pihak

Ekonomi Islam Vs Ekonomi Konvensional

I DZIKIR AND I HENCE I AM Versus I THINK AND THEREFORE I AM
(Sistem Ekonomi Islam Versus Ekonomi Kapitalis)


I Think and therefore I am. “Aku Berpikir, dan karena itu Aku Ada” Demikian ungkapan Immanuel Kant. Kant lahir di Konigsberg, 22 April 1724 dan meninggal di kota yang sama 12 Februari 1804. Seorang filsuf Jerman ini telah dipengaruhi oleh Rene Descartes (Perancis, 1596 – 1650). Berarti telah 2 abad sebelumnya Descartes telah meletakkan dasar ini. Pemikiran ini yang memberikan pemahaman kepada kita, bahwa keberadaan (eksistensi) manusia ditentukan oleh seberapa jauh dan seberapa seriusnya kita memanfaatkan dan memberdayakan pemikiran kita. Pandangan Kant, menunjukkan bahwa Akal pikiran menjadi pangkal segalanya dalam melihat realitas kehidupan. Kehidupan merupakan sebuah realitas yang harus dipahami sebagai sebuah konsekuensi akal. Didalamnya termasuk realitas kehidupan ekonomi. Dalam pandangan Kant (dengan Rasionalismenya) dunia adalah sebuah wujud materi yang realistis. Paham ini juga yang kemudian melahirkan pemahaman materialisme atau paham kebendaan. Materi dipandang sebagai sesuatu yang serba bebas nilai (value free). Tidak lebih dari itu. Jika dilihat dari KantDogma ini bertahan lama hingga kurang lebih 2 abad lamanya. Karena itu, maka sistem ekonomi dunia barat (western) meng-Ilah-kan pada paradigma ini.
Teori yang sudah menjadi dogmatis ini kemudian dibantah (diruqyah) oleh Hidayat Nataatmaja. Dalam karya agungnya “General Theory of The Light of Science” (2006) Hidayat membantah keras atas pandangan-pandangan Barat yang sudah berkiblat pada Kantstian ini. “I Think and therefore I am” telah membawa “kesesatan” yang nyata pada berbagai prinsif kehidupan manusia pada zamannya dan zaman berikutnya. Hidayat memandang bahwa alam dan wujud ini tidak serta merta hadir (Ontolgism: sesuatu yang ada) dengan sendirinya, begitupan berbagai materi yang menempel padanya—termasuk manusia—hanyalah merupakan sebagian kecil dari wujud materi alam ini. Sehingga manusiapun dengan AKALnya hanyalah manusia biologis yang tidak berdaya
Pendekatan yang dilakukan oleh Hidayat bukan saja dipandang BENAR secara pendekatan transendental (transendental approach) namun secara pendekatan ilmiah (science approach) pun telah dapat dibuktikan kebenaranya. Bahwa alam ini—termasuk manusia didalamnya—tidaklah wujud dengan sendirinya karena adanya persenyawaan unsur-unsur material saja, tetapi keterikatan dengan sebuah Hukum Ilahiyah yang tidak dapat dijangkau oleh pendekatan AKAL semata yang para pemikir menyebutnya pendekatan ilmiah. Tetapi harus diingat bahwa pendekatan transendental jauh lebih dapat diterima karena ini adalah diluar nalar manusia. Artinya adanya sebuah keterkaitan dengan yang menciptakan Akal. Tentu berbagai kepercayaan (agama) apapun di dunia akan mengatakan sepakat ialah Alloh SWT. Meski dengan bahasa lisan (logat), istilah yang berbeda dengan mengistilahkan “Tuhan” namun intinya sama akan bermuara pada makna luhur yakni Alloh SWT.

Pada hakikatnya kita telah melakukan transaksi transendental saat kita di alam ruh. sebagaimana Alloh SWT menggambarkan dalam Al-Qur’an Surat Al’araf ayat 172:

172. Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".
Ayat tersebut memberikan penegasan pada kita bahwasannya hidup kita berawal dari alam rahim. Alam rahim merupakan alam pertama yang manusia lalui Dalam Alam rahim inilah, saat dimana manusia diciptakan dari setes air mani yang kemudian Alloh rubah menjadi segumpal darah kemudian berubah menjadi segumpal daging, lalu daging itu Alloh bungkus dan dan menjadi sesuatu yang berbentuk. Makna inilah yang kemudian Alloh tiupkan ruh sehingga jadilah apa yang disebut sebagai manusia.
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baik." (QS. Al-Mu'minun : 12-14).
Sebagai manusia, hakikatnya kita telah melakukan transaksi dengan Alloh. Transakti dalam pengertian telah melakukan sebuah persaksian (bersyahadah). Bahwasannya kita telah mengakui bahwa Alloh adalah TUHAN kita. Dr. Murasa menyebutnya sebagai dzikirnya manusia saat di alam rahim. Dzikir adalah getar menggetar antara RUH dalam diri manusia dengan dzat Alloh SWT. Sehingga dalam konteks kekinian dzikir kita saat di alam rahim jangan sampai terkalahkan oleh berbagai bentuk godaan yang memalingkan kita dari kebenaran Alloh SWT.
Pada posisi dimana kita akan dihadapkan dengan dua pilihan, sebagai cerminan potensi antara ilham fujur dan ilham taqwa. Ilham taqwa merupakan cerminan potensi yang mengedepankan akal sehat sehingga membawa diri kepada kebaikan. Sementara ilham fujur merupakan potensi yang mengedepankan akal busuk sehingga membawa diri pada keburukan. Padahal lebih penting dari itu adalah “I DZIKIR AND I HENCE I AM” Saya Berdzikir Maka Saya Ada. .
Versi ini sebenarnya bukan saja berbeda namun lebih dari itu, makna yang tersurat maupun yang tersirat dari kata-kata bijak ini bertentangan dengan pendapatnya Kant. Betapa tidak Kant lebih mengedepankan AKAL, sementara Hidayat Nataatmaja lebih berpijak pada kepastian Agama tentang eksistensi Tuhan (baca: Alloh SWT).
I dzikir and I hence I am merupakan ungkapan suara hati yang dilakukan dengan pendekatan Ilmu Ma’rifat. Sementara I think and therefore I am merupakan ungkapan kata hati yang dilakukan melalui pendekatan Ilmu Pengetahuan. I dzikir and I hence I am dalam bahasa Ibnu Arabi merupakan Mantik Rasa yang pada gilirannya akan melahirkan aktivitas-aktivitas yang berpijak pada landasan dzikir. Sementara I think and therefore I am dilahirkan oleh Mantik Akal yang akan melahirkan paham-paham sekuler karena akal yang selalu menjadi barometer kebenaran. Padahal kebenaran itu datangnya dari ALLOH SWT maka janganlah kita menjadi orang-orang yang meragukan kebenaran (AL-QUR’AN) tersebut.
Dalam konteks khazanah keilmuan ekonomi, tampaknya ada beberapa poin penting yang dapat ditawarkan kaitannya dengan masalah paradigma di atas. Apabila sistem ekonomi yang dibangun dengan berbasis pada konsep ilahiyah, maka sebuah keniscayaan bahwa kesejahteraan masyarakat sesuai dengan prinsif ekonomi akan tercapai. nilai-nilai ekonomi yang mengedepankan kebaikan, keadilan, kejujuran dan keterbukaan menjadi kata kunci (key word) dalam proses implementasinya. Dengan pendekatan ekonomi Islam yang komprehensif sebuah keniscayaan wajah peradaban Islam akan kembali jaya. Dalam rumusan Ibn Al-Qayyim bahwa untuk mencapai keberhasilan sebuah peradaban harus mengedepankan konsep The seven creative satisfaction (7 kepuasan). Postulat tersebut adalah:
1) dari ragu kepada yakin,
2) dari kebodohan kepada ilmu,
3) dari lalai kepada ingat,
4) dari khianat kepada amanat,
5) dari riya’ kepada ikhlas,
6) dari lemah kepada teguh, dan
7) dari sombong kepada tahu diri.

Selanjutnya yang patut dipahami kembali adalah bahwa hakikat esensi Islam mengatur berbagai aspek kehidupan tanpa terkecuali pada aspek ekonomi. Pada tataran ini Islam bukan saja mengatur pada aspek-aspek yang sifatnya aqidah dan syari’ah saja, tapi bab muamalahpun menjadi sesuatu yang diperhatikan. Islam mengatur bagaimana hubungan antar sesama terjalin dengan baik, ukhuwah islamiyah menjadi sesuatu yang tidak terlupakan.
Untuk konteks kekinian, sistem ekonomi kapitalis sudah tidak relevan lagi dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat dunia. Buktinya, budaya masyarakat dan para pelaksana ekonomi yang konsumeris tidak lagi mengindahkan nilai kebenaran dan keadilan. Sehingga pada gilirannya akan bermuara pada satu komitmen bersama bahwa adil, merata, tidak main curang adalah keinginan bersama yang harus terpenuhi.
Konsep yang ditawarkan Islam sudah sangat jelas. Islam mengakomodir setiap hajat manusia tanpa mengecualikan orang diluar Islam. Sehingga dalam Islam tidak akan mengenal istilah moneter atau krisis ekonomi.
Krisis ekonomi dunia saat ini bukanlah yang pertama maupun yang terakhir. Boleh dikatakan, sejarah ekonomi Kapitalisme adalah sejarah krisis. Roy Davies dan Glyn Davies (1996), dalam buku The History of Money From Ancient time to Present Day, menguraikan sejarah kronologi krisis ekonomi dunia secara menyeluruh. Menurut keduanya, sepanjang Abad 20 telah terjadi lebih 20 kali krisis besar yang melanda banyak negara. Ini berarti, rata-rata setiap 5 tahun terjadi krisis keuangan hebat yang mengakibatkan penderitaan bagi ratusan juta umat manusia.
Krisis ekonomi sudah terjadi sejak tahun 1907; disusul dengan krisis ekonomi tahun 1923, 1930, 1940, 1970, 1980, 1990, dan 1998 – 2001 bahkan sampai saat ini. Di Asia Tenggara sendiri—khususnya Thailand, Malaysia dan Indonesia—krisis pernah terjadi pada tahun 1997-2002 hingga saat ini.
Untuk kembali mengingat kembali perjalanan sejarah ekonomi Islam kita dapat mengambil ibroh (pelajaran) dari kisah Rasulullah saat membangun Sistem Ekonomi Islam. Sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, pasar dan sistem perdagangan di kota itu dikuasai dan dimonopoli sepenuhnya oleh orang–orang Yahudi. Maju mundurnya masyarakat Madinah saat itu secara tidak langsung diatur oleh kapitalis Yahudi. Di dalam masyarakat terjadi penindasan, penzaliman dan riba dimana–mana. Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, maka selaku pemimpin, Baginda tidak bisa berdiam diri melihat kekacauan masyarakat Madinah yang bersumber pada eksploitasi oleh sistem ekonomi kapitalis. Langkah yang diambil Baginda adalah mengerahkan Sayidina Abdurrahman bin Auf, seorang hartawan, untuk membangun sistem ekonomi bertaraf ALLAH dan Rasul. Sayidina Abdurrahman bin Auf memulai dengan membangun pasar yang dikelola seratus persen oleh umat Islam sendiri berlokasi tidak jauh dari pasar Yahudi, yang kemudian diberi nama “Suqul Anshar“ atau pasar Anshar.
Semua orang Islam dihimbau untuk berjual beli dan melakukan semua aktivitas perdagangan di pasar itu tanpa bekerjasama sedikitpun dengan Yahudi dan tanpa terlibat dengan segala produk atau barang mereka. Dengan semangat perpaduan serta ketaatan pada ALLAH dan Rasul-Nya umat Islam saat itu menumpukan perhatian semata-mata di Suqul Anshar. Bahkan bukan itu saja, karena dalam sistem ekonomi Islam tidak ada penindasan atau riba serta amat memberi kemudahan dan di dalamnya juga terdapat semangat perpaduan dan rasa ber-Tuhan yang tajam, maka banyak orang bukan Islam dan orang luar kota pun tertarik untuk berdagang ke Suqul Anshar.
Hasil dari perjuangan itu maka dalam waktu singkat ekonomi Madinah beralih ke tangan umat Islam, sehingga ekonomi Yahudi yang sudah ratusan tahun, gulung tikar dan bangkrut bahkan mereka menjadi miskin dan akhirnya menutup pasar mereka. Dan karena sebab itu jugalah maka sampai saat ini mereka sangat membenci dan dendam pada umat Islam dan sangat menginginkan secara ekonomi, umat Islam berada dalam kekuasaan mereka tanpa umat Islam menyadarinya. Inilah sistem ekonomi Islam yang benar-benar akan menjamin kesejahteraan masyarakat dan bebas dari guncangan krisis ekonomi.
Sistem ini terbukti telah mampu menciptakan kesejahteraan umat manusia—Muslim dan non-Muslim—tanpa harus selalu berhadapan dengan krisis ekonomi yang secara berkala menimpa, sebagaimana dialami sistem ekonomi Kapitalisme.
Pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab (13-23 H/634-644 M), misalnya, hanya dalam 10 tahun masa pemerintahannya, kesejahteraan merata ke segenap penjuru negeri. Pada masanya, di Yaman, misalnya, Muadz bin Jabal sampai kesulitan menemukan seorang miskin pun yang layak diberi zakat (Abu Ubaid menuturkan, Al-Amwâl, hlm. 596). Pada masanya, Khalifah Umar bin al-Khaththab mampu menggaji guru di Madinah masing-masing 15 dinar (1 dinar=4,25 gr emas). (Ash-Shinnawi, 2006).
Lalu pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/818-820 M), meskipun masa Kekhilafahannya cukup singkat (hanya 3 tahun), umat Islam terus mengenangnya sebagai khalifah yang berhasil menyejahterakan rakyat. Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu, berkata, “Ketika hendak membagikan zakat, saya tidak menjumpai seorang miskin pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan setiap individu rakyat pada waktu itu berkecukupan.” (Ibnu Abdil Hakam, Sîrah ‘Umar bin Abdul ‘Azîz, hlm. 59).
Pada masanya, kemakmuran tidak hanya ada di Afrika, tetapi juga merata di seluruh penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Bashrah. Begitu makmurnya rakyat, Gubernur Bashrah saat itu pernah mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz, “Semua rakyat hidup sejahtera sampai saya sendiri khawatir mereka akan menjadi takabur dan sombong.” (Abu Ubaid, Al-Amwâl, hlm. 256).
Begitulah sejarah emas kaum Muslim pada masa lalu. Dengan melaksanakan semua syariah Allah dalam seluruh aspek kehidupan—termasuk dalam ekonomi—sebagai wujud ketakwaan kepada-Nya, Allah telah menurunkan keberkahan-Nya dari langit dan bumi kepada kaum Muslim saat itu. Mahabenar Allah Yang berfirman:
Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Namun, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu. Karena itulah, Kami menyiksa mereka akibat perbuatan mereka itu (QS al A’raf [7]: 96).
Demikianlah, perpaduan umat Islam saat itu dalam ketaatan kepada ALLAH dan Rasul-Nya, berhasil membangun ekonomi Islam dan sekaligus merobohkan musuh tanpa berperang secara fisik. Dan seharusnya kita sebagai umat Islam meneladani dan mengikuti sunnah Nabi kita sebagai suatu strategi untuk membangun sistem ekonomi Islam.
Keterkaitan dengan Local Wisdom maka paling tidak kita harus mengetahui secara pendekatan terminology dan epistemologi dulu. Istilah local wisdom (kearifan lokal) mempunyai arti yang sangat mendalam dan menjadi suatu kosa kata yang sedang familiar di telinga kita akhir-akhir ini. Banyak ungkapan dan perilaku yang bermuatan nilai luhur, penuh kearifan, muncul di komunitas lokal sebagai upaya dalam menyikapi permasalahan kehidupan yang dapat dipastikan akan dialami oleh masyarakat tersebut. Realita ini muncul ke permukaan karena tidak adanya solusi global yang dapat membantu memberikan jawaban terhadap segala kejadian yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka. Premis-premis umum yang selama ini menjadi standar bersama dalam membedah dan "mengobati" setiap penyakit yang timbul sudah tidak lagi menjangkau permasalahan yang mengemuka di komunitas lokal. Masyarakat yang menghuni di suatu tempat tertentu sudah dapat menyelesaikan permasalahannya dengan solusi yang penuh kearifan tanpa harus memakai standar yang berlaku secara umum.
Di sisi lain, komunitas lokal (local community) menjawab tantangan kehidupan ini dengan kearifan dan kebijaksanaan yang dimilikinya. Kearifan atau kebijaksanaan (wisdom) tersebut muncul bisa jadi karena pengalaman yang selama ini terjadi telah menjadikannya sebagai jawaban dan solusi terhadap masalah yang sedang dihadapinya. Faktor ke-terlibatan para pendahulu, nenek moyang, yang mewariskan tradisi tersebut kepada generasi berikutnya menjadi sangat penting bagi terjaganya kearifan tersebut. Dalam perkembangannya, bisa jadi kearifan yang timbul antar komunitas lokal itu berbeda dengan yang lainnya, tanpa menghilangkan subtansi yang dimiliki dari nilai kearifan tersebut, yaitu berfungsi sebagai solusi terhadap masalah yang ada di sekitanya. Sehingga, dalam beberapa hal akan memungkinkan timbulnya kearifan yang beranekaragam dari komunitas lokal tersebut, walau dengan obyek permasalahan yang sama.
Sebagai misal, orang Jawa yang tinggal di daerah gunung atau pedesaan akan berbeda kearifannya dengan orang Jawa yang tinggal di perkotaan tetkala sama-sama melihat permasalahan mereka di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Orang Jawa gunung-pedesaan akan mempunyai kecenderungan menjadi seorang petani yang tangguh lagi ulet dalam menghadapi tuntutan kehidupan dan lingkungan. Faktor alam juga menjadi penopang bagi diri orang Jawa gunung-pedesaan untuk menjadi seorang petani dari pada menjadi seorang pedagang atau bekerja di pabrik dan industri. Lain halnya dengan orang Jawa yang tinggal dan hidup di daerah perkotaan akan mempunyai kearifan lain yang menuntun dirinya sebagai seorang pedagang atau sebagai karyawan yang bekerja di perusahaan swasta atau bekerja sebagai pejabat di instansi pemerintahan dari pada bekerja sebagai seorang petani.
Contoh sederhana yang lainnya, dalam adat sunda terujar “tong cicing di lawang panto, matak nongtot jodo” (jangan duduk dipintu, nantinya tidak dapat jodo) dan “tong sasapu tipeuting matak jauh rejeki” (jangan menyapu malam-malam, akan menjauhkan rejeki).
Istilah-istilah yang muncul dalam kebiasaan orang sunda ini tidak ada salahnya
***
Ekonomi Islam di Indonesia secara riil sudah dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat muslim pada tingkat keluarga. Bahkan, komunitas muslim tertentu telah men-jalankan tata cara pemenuhan kebutuhan hidupnya dengan penuh kearifan dan kebijak-sanaan. Nilai-nilai wisdom (kearifan) tersebut dijadikan acuan di dalam melakukan kegiatan ekonomi. Dalam hal ini, ekonomi Islam difahami sebagai tata cara pemenuhan kebutuh-an hidup yang orientasinya didasarkan pada aturan syariah Islam untuk pencapaian keridhaan Allah Swt. Terminologi normative ini akan dapat diaplikasikan secara riil oleh umat Islam jika ada standar nilai ketaatan kepada aturan yang sudah baku terhadap nash-nash al-Qur'an atau Sunnah Nabawiyah. Banyak ayat al-Qur'an dan as-Sunnah yang memberikan panduan terhadap umat Islam untuk melakukan kegiatan ekonomi yang sesuai dengan petunjuk-Nya. Larangan riba, promosi jual beli, hidup sederhana, tidak bertindak berlebihan atau melampaui batas (no israf), tidak berbuat kerusakan (no fasad), intensifikasi zakat dan shadaqah, serta perintah bekerjasama dalam usaha adalah deretan ajaran Islam yang mengandung nilai ekonomi.
Perilaku ekonomi umat Islam mengarah kepada nilai-nilai dasar yang telah digariskan dalam ajaran Islam seperti yang ada di atas. Praktek riba sudah divonis sebagai sesuatu yang haram dan harus ditinggalkan oleh pelaku ekonomi muslim. Pengharaman riba ini menjadi sesuatu yang fundamental dalam ekonomi Islam. Bahkan, instrumen riba tersebut menjadi pembeda antara status orang muslim dengan orang kafir. Artinya, pelaku praktek riba sudah tidak diakui keislamannya dan termasuk kepada golongan orang-orang yang kafir. Mengapa ajaran Islam memberikan penegasan seperti ini? Hal ini dikarenakan riba menjadi sesuatu yang mengerikan dan merusak sistem perekonomian. Dengan riba, ada pihak yang didzalimi. Bahkan, riba merupakan salah satu penyebab krisis ekonomi. Keseimbangan (equilibrium) dalam ekonomi akan tercabut tetkala praktek riba menjadi pondasi setiap kegiatan ekonomi. Maka tidak salah, jika masyarakat kita memberikan laqob (gelar) kepada para pengambil riba sebagai "lindah darat". Lintah adalah suatu binatang yang biasa tinggal di air dengan darah sebagai menu kesukaannya. Jika ada "lindah darat" maka mereka adalah pengambil riba yang menghisab darah masyarakat di darat melalui pengembangbiakan uang dengan sistem bunga. Secara historis, pelarangan praktek riba sudah ada sejak zaman dahulu. Sebelum Nabi Muhammad Saw membawa risalah keislaman, Nabi-Nabi terdahulu sudah menegaskan akan keharaman riba. Bahkan, para filosof Yunani Kuno sudah memberikan kecaman yang keras terhadap praktek riba.
Sebagai solusinya, ajaran Islam mempromosikan jual-beli sebagai satu model pengganti praktek riba. Dalam al-Qur'an ditegaskan secara nyata bahwa jual-beli me-rupakan sesuatu yang halal untuk dipraktekkan dalam mengisi kegiatan ekonomi. Dengan adanya jual-beli berarti meneguhkan kembali nilai keseimbangan ekonomi, karena di dalamnya terjadi interaksi antara pihak pemilik barang (penjual) dan pihak yang memiliki uang (pembeli). Realita ini menguatkan terjadinya sirkulasi barang dan uang secara riil. Seumpamanya, selama dalam kurun waktu satu tahun tidak terjadi transaksi jual-beli akan dapat dipastikan adanya penumpukkan barang dan uang pada satu pihak. Oleh karena itu, ajaran Islam memandu umatnya untuk melakukan jual-beli secara tidak langsung telah memberikan andil dalam proses penyehatan kegiatan ekonomi.
Nilai ekonomi Islam yang lain dapat berupa peniadaan sikap berlebihan dan berbuat kerusakan dalam menjalankan aktifitas ekonomi. Kedua perilaku ini termasuk ke dalam negative action yang membawa kepada implikasi terjadinya ketidakseimbangan ekonomi atau bahkan ketidakseimbangan kosmos ini sendiri. Dalam skala ekonomi mikro, perilaku berlebihan akan berakibat pada tidak terdistribusikan barang konsumsi secara merata, karena ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkannya dalam porsi yang tidak wajar, sudah berlebihan, sedang di pihak lain ada yang mengalami kekurangan dalam mengkonsumsi barang yang diperlukan.
Adanya pembalakan liar beberapa hutan di kawasan nusantara memberikan konstribusi peningkatan kerusakan di alam. Aturan normativ syariah Islam menuntun bagi umatnya untuk selalu menjauhi perbuatan yang mengarah kepada kerusakan lingkungan. Beberapa masyarakat yang tinggal di sekitar hutan telah menyadari akan pentingnya keseimbangan hidup di lingkungan sekitar. Masyarakat sekitar hutan telah memahami sekaligus telah mempraktekkan pengetahuan tentang ekonomi lingkungan. Bagaimana cara memenuhi kebutuhan hidup dengan bersandar pada hutan yang ada di lingkungannya? Mereka menjadikan hutan dan lingkungan sekelilingnya seperti nyawa yang ada di badannya. Hubungan simbiosis yang saling menguntungan ini tetap terjaga secara harmoni. Karena, jika hutan yang ada di lingkungan sekitarnya mengalami kerusakan secara tidak langsung akan mengancam jiwanya. Begitulah, sikap kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat pinggiran hutan. Perbuatan mereka ini telah mencerminkan pelaksanaan ekonomi Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Lain halnya, dengan perilaku yang dijalani oleh petani yang tinggal di pedesaan. Kesederhaan telah menjadi gaya hidup mereka. Pagi hari, para petani pergi bersama ke sawahnya. Mereka bercocok tanam dengan berharap agar pengelolaan sawahnya dapat memberikan penghasilan yang nantinya bisa dinikmati untuk memenuhi kebutuhan hidup-nya. Mereka adalah sosok pribadi yang terlatih untuk menjalani hidup dengan selalu tawakkal kepada Allah SWT, Dzat Yang Mengatur kehidupan di alam ini. Hanya karena kemurahan dan anugerah dari Allah Swt, para petani dapat menikmati hasil panen sawah yang dikelolanya dengan penuh kesabaran. Perilaku kehidupan petani ini telah mencermin-kan adanya kearifan lokal (local wisdom) yang terus dipertahankan oleh mereka. Betapa indahnya mengarungi kehidupan ini dengan diterangi oleh sinar-sinar kearifan lokal yang bersumber dari ajaran ekonomi Islam. Wallohu’alam.

Cari Blog Ini