Selasa, 10 November 2009

BUNGA BANK

BUNGA BANK

Karya : Yusuf Qaradhawi



PERTANYAAN

Saya seorang pegawai golongan menengah, sebagian penghasilan
saya tabungkan dan saya mendapatkan bunga. Apakah dibenarkan
saya mengambil bunga itu? Karena saya tahu Syekh Syaltut
memperbolehkan mengambil bunga ini.

Saya pernah bertanya kepada sebagian ulama, di antara mereka
ada yang memperbolehkannya dan ada yang melarangnya. Perlu
saya sampaikan pula bahwa saya biasanya mengeluarkan zakat
uang saya, tetapi bunga bank yang saya peroleh melebihi
zakat yang saya keluarkan.

Jika bunga uang itu tidak boleh saya ambil, maka apakah yang
harus saya lakukan?

JAWABAN

Sesungguhnya bunga yang diambil oleh penabung di bank adalah
riba yang diharamkan, karena riba adalah semua tambahan yang
disyaratkan atas pokok harta. Artinya, apa yang diambil
seseorang tanpa melalui usaha perdagangan dan tanpa
berpayah-payah sebagai tambahan atas pokok hartanya, maka
yang demikian itu termasuk riba. Dalam hal ini Allah
berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)
jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu
tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan
riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya."
(Antara lain Baqarah: 278-279)

Yang dimaksud dengan tobat di sini ialah seseorang tetap
pada pokok hartanya, dan berprinsip bahwa tambahan yang
timbul darinya adalah riba. Bunga-bunga sebagai tambahan
atas pokok harta yang diperoleh tanpa melalui persekutuan
atas perkongsian, mudharakah, atau bentuk-bentuk persekutuan
dagang lainnnya, adalah riba yang diharamkan. Sedangkan guru
saya Syekh Syaltut sepengetahuan saya tidak pernah
memperbolehkan bunga riba, hanya beliau pernah mengatakan:
"Bila keadaan darurat --baik darurat individu maupun darurat
ijtima'iyah-- maka bolehlah dipungut bunga itu." Dalam hal
ini beliau memperluas makna darurat melebihi yang
semestinya, dan perluasan beliau ini tidak saya setujui.
Yang pernah beliau fatwakan juga ialah menabung di bank
sebagai sesuatu yang lain dari bunga bank. Namun, saya tetap
tidak setuju dengan pendapat ini.

Islam tidak memperbolehkan seseorang menaruh pokok hartanya
dengan hanya mengambil keuntungan. Apabila dia melakukan
perkongsian, dia wajib memperoleh keuntungan begitupun
kerugiannya. Kalau keuntungannya sedikit, maka dia berbagi
keuntungan sedikit, demikian juga jika memperoleh keuntungan
yang banyak. Dan jika tidak mendapatkan keuntungan, dia juga
harus menanggung kerugiannya. Inilah makna persekutuan yang
sama-sama memikul tanggung jawab.

Perbandingan perolehan keuntungan yang tidak wajar antara
pemilik modal dengan pengelola --misalnya pengelola
memperoleh keuntungan sebesar 80%-90% sedangkan pemilik
modal hanya lima atau enam persen-- atau terlepasnya
tanggung jawab pemilik modal ketika pengelola mengalami
kerugian, maka cara seperti ini menyimpang dari sistem
ekonomi Islam meskipun Syeh Syaltut pernah memfatwakan
kebolehannya. Semoga Allah memberi rahmat dan ampunan kepada
beliau.

Maka pertanyaan apakah dibolehkan mengambil bunga bank, saya
jawab tidak boleh. Tidak halal baginya dan tidak boleh ia
mengambil bunga bank, serta tidaklah memadai jika ia
menzakati harta yang ia simpan di bank.

Kemudian langkah apa yang harus kita lakukan jika menghadapi
kasus demikian?

Jawaban saya: segala sesuatu yang haram tidak boleh dimiliki
dan wajib disedekahkan sebagaimana dikatakan para ulama
muhaqqiq (ahli tahqiq). Sedangkan sebagian ulama yang wara'
(sangat berhati-hati) berpendapat bahwa uang itu tidak boleh
diambil meskipun untuk disedekahkan, ia harus membiarkannya
atau membuangnya ke laut. Dengan alasan, seseorang tidak
boleh bersedekah dengan sesuatu yang jelek. Tetapi pendapat
ini bertentangan dengan kaidah syar'iyyah yang melarang
menyia-nyiakan harta dan tidak memanfaatkannya.

Harta itu bolehlah diambil dan disedekahkan kepada fakir
miskin, atau disalurkan pada proyek-proyek kebaikan atau
lainnya yang oleh si penabung dipandang bermanfaat bagi
kepentingan Islam dan kaum muslimin. Karena harta haram itu
--sebagaimana saya katakan-- bukanlah milik seseorang, uang
itu bukan milik bank atau milik penabung, tetapi milik
kemaslahatan umum.

Demikianlah keadaan harta yang haram, tidak ada manfaatnya
dizakati, karena zakat itu tidak dapat mensucikannya. Yang
dapat mensucikan harta ialah mengeluarkan sebagian darinya
untuk zakat. Karena itulah Rasulullah saw. bersabda:

"Sesungguhnya Allah tidak menerima sedekah dari
hasil korupsi." (HR Muslim)

Allah tidak menerima sedekah dari harta semacam ini, karena
harta tersebut bukan milik orang yang memegangnya tetapi
milik umum yang dikorupsi.

Oleh sebab itu, janganlah seseorang mengambil bunga bank
untuk kepentingan dirinya, dan jangan pula membiarkannya
menjadi milik bank sehingga dimanfaatkan karena hal ini akan
memperkuat posisi bank dalam bermuamalat secara riba. Tetapi
hendaklah ia mengambilnya dan menggunakannya pada
jalan-jalan kebaikan.

Sebagian orang ada yang mengemukakan alasan bahwa
sesungguhnya seseorang yang menyõmpan uang di bank juga
memiliki risiko kerugian jika bank itu mengalami kerugian
dan pailit, misalnya karena sebab tertentu. Maka saya
katakan bahwa kerugian seperti itu tidak membatalkan kaidah,
walaupun si penabung mengalami kerugian akibat dari
kepailitan atau kebangkrutan tersebut, karena hal ini
menyimpang dari kaidah yang telah ditetapkan. Sebab
tiap-tiap kaidah ada penyimpangannya, dan hukum-hukum dalam
syariat Ilahi -demikian juga dalam undang-undang buatan
manusia-- tidak boleh disandarkan kepada perkara-perkara
yang ganjil dan jarang terjadi. Semua ulama telah sepakat
bahwa sesuatu yang jarang terjadi tidak dapat dijadikan
sebagai sandaran hukum, dan sesuatu yang lebih sering
terjadi dihukumi sebagai hukum keseluruhan. Oleh karenanya,
kejadian tertentu tidak dapat membatalkan kaidah kulliyyah
(kaidah umum).

Menurut kaidah umum, orang yang menabung uang (di bank)
dengan jalan riba hanya mendapatkan keuntungan tanpa
memiliki risiko kerugian. Apabila sekali waktu ia mengalami
kerugian, maka hal itu merupakan suatu keganjilan atau
penyimpangan dari kondisi normal, dan keganjilan tersebut
tidak dapat dijadikan sandaran hukum.

Boleh jadi saudara penanya berkata, "Tetapi bank juga
mengolah uang para nasabah, maka mengapa saya tidak boleh
mengambil keuntungannya?"

Betul bahwa bank memperdagangkan uang tersebut, tetapi
apakah sang nasabah ikut melakukan aktivitas dagang itu.
Sudah tentu tidak. Kalau nasabah bersekutu atau berkongsi
dengan pihak bank sejak semula, maka akadnya adalah akad
berkongsi, dan sebagai konsekuensinya nasabah akan ikut
menanggung apabila bank mengalami kerugian. Tetapi pada
kenyataannya, pada saat bank mengalami kerugian atau
bangkrut, maka para penabung menuntut dan meminta uang
mereka, dan pihak bank pun tidak mengingkarinya. Bahkan
kadang-kadang pihak bank mengembalikan uang simpanan
tersebut dengan pembagian yang adil (seimbang) jika
berjumlah banyak, atau diberikannya sekaligus jika berjumlah
sedikit.

Bagaimanapun juga sang nasabah tidaklah menganggap dirinya
bertanggung jawab atas kerugian itu dan tidak pula merasa
bersekutu dalam kerugian bank tersebut, bahkan mereka
menuntut uangnya secara utuh tanpa kurang sedikit pun.


Diposting www.prayoga.net

Senin, 09 November 2009

Sistem Ekonomi Islam Versus Ekonomi Kapitalis

I DZIKIR AND I HENCE I AM Versus I THINK AND THEREFORE I AM
(Sistem Ekonomi Islam Versus Ekonomi Kapitalis)


I Think and therefore I am. “Aku Berpikir, dan karena itu Aku Ada” Demikian ungkapan Immanuel Kant. Kant lahir di Konigsberg, 22 April 1724 dan meninggal di kota yang sama 12 Februari 1804. Seorang filsuf Jerman ini telah dipengaruhi oleh Rene Descartes (Perancis, 1596 – 1650). Berarti telah 2 abad sebelumnya Descartes telah meletakkan dasar ini. Pemikiran ini yang memberikan pemahaman kepada kita, bahwa keberadaan (eksistensi) manusia ditentukan oleh seberapa jauh dan seberapa seriusnya kita memanfaatkan dan memberdayakan pemikiran kita. Pandangan Kant, menunjukkan bahwa Akal pikiran menjadi pangkal segalanya dalam melihat realitas kehidupan. Kehidupan merupakan sebuah realitas yang harus dipahami sebagai sebuah konsekuensi akal. Didalamnya termasuk realitas kehidupan ekonomi. Dalam pandangan Kant (dengan Rasionalismenya) dunia adalah sebuah wujud materi yang realistis. Paham ini juga yang kemudian melahirkan pemahaman materialisme atau paham kebendaan. Materi dipandang sebagai sesuatu yang serba bebas nilai (value free). Tidak lebih dari itu. Jika dilihat dari KantDogma ini bertahan lama hingga kurang lebih 2 abad lamanya. Karena itu, maka sistem ekonomi dunia barat (western) meng-Ilah-kan pada paradigma ini.
Teori yang sudah menjadi dogmatis ini kemudian dibantah (diruqyah) oleh Hidayat Nataatmaja. Dalam karya agungnya “General Theory of The Light of Science” (2006) Hidayat membantah keras atas pandangan-pandangan Barat yang sudah berkiblat pada Kantstian ini. “I Think and therefore I am” telah membawa “kesesatan” yang nyata pada berbagai prinsif kehidupan manusia pada zamannya dan zaman berikutnya. Hidayat memandang bahwa alam dan wujud ini tidak serta merta hadir (Ontolgism: sesuatu yang ada) dengan sendirinya, begitupan berbagai materi yang menempel padanya—termasuk manusia—hanyalah merupakan sebagian kecil dari wujud materi alam ini. Sehingga manusiapun dengan AKALnya hanyalah manusia biologis yang tidak berdaya
Pendekatan yang dilakukan oleh Hidayat bukan saja dipandang BENAR secara pendekatan transendental (transendental approach) namun secara pendekatan ilmiah (science approach) pun telah dapat dibuktikan kebenaranya. Bahwa alam ini—termasuk manusia didalamnya—tidaklah wujud dengan sendirinya karena adanya persenyawaan unsur-unsur material saja, tetapi keterikatan dengan sebuah Hukum Ilahiyah yang tidak dapat dijangkau oleh pendekatan AKAL semata yang para pemikir menyebutnya pendekatan ilmiah. Tetapi harus diingat bahwa pendekatan transendental jauh lebih dapat diterima karena ini adalah diluar nalar manusia. Artinya adanya sebuah keterkaitan dengan yang menciptakan Akal. Tentu berbagai kepercayaan (agama) apapun di dunia akan mengatakan sepakat ialah Alloh SWT. Meski dengan bahasa lisan (logat), istilah yang berbeda dengan mengistilahkan “Tuhan” namun intinya sama akan bermuara pada makna luhur yakni Alloh SWT.

Pada hakikatnya kita telah melakukan transaksi transendental saat kita di alam ruh. sebagaimana Alloh SWT menggambarkan dalam Al-Qur’an Surat Al’araf ayat 172:


172. Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".
Ayat tersebut memberikan penegasan pada kita bahwasannya hidup kita berawal dari alam rahim. Alam rahim merupakan alam pertama yang manusia lalui Dalam Alam rahim inilah, saat dimana manusia diciptakan dari setes air mani yang kemudian Alloh rubah menjadi segumpal darah kemudian berubah menjadi segumpal daging, lalu daging itu Alloh bungkus dan dan menjadi sesuatu yang berbentuk. Makna inilah yang kemudian Alloh tiupkan ruh sehingga jadilah apa yang disebut sebagai manusia.
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baik." (QS. Al-Mu'minun : 12-14).
Sebagai manusia, hakikatnya kita telah melakukan transaksi dengan Alloh. Transakti dalam pengertian telah melakukan sebuah persaksian (bersyahadah). Bahwasannya kita telah mengakui bahwa Alloh adalah TUHAN kita. Dr. Murasa menyebutnya sebagai dzikirnya manusia saat di alam rahim. Dzikir adalah getar menggetar antara RUH dalam diri manusia dengan dzat Alloh SWT. Sehingga dalam konteks kekinian dzikir kita saat di alam rahim jangan sampai terkalahkan oleh berbagai bentuk godaan yang memalingkan kita dari kebenaran Alloh SWT.
Pada posisi dimana kita akan dihadapkan dengan dua pilihan, sebagai cerminan potensi antara ilham fujur dan ilham taqwa. Ilham taqwa merupakan cerminan potensi yang mengedepankan akal sehat sehingga membawa diri kepada kebaikan. Sementara ilham fujur merupakan potensi yang mengedepankan akal busuk sehingga membawa diri pada keburukan. Padahal lebih penting dari itu adalah “I DZIKIR AND I HENCE I AM” Saya Berdzikir Maka Saya Ada. .
Versi ini sebenarnya bukan saja berbeda namun lebih dari itu, makna yang tersurat maupun yang tersirat dari kata-kata bijak ini bertentangan dengan pendapatnya Kant. Betapa tidak Kant lebih mengedepankan AKAL, sementara Hidayat Nataatmaja lebih berpijak pada kepastian Agama tentang eksistensi Tuhan (baca: Alloh SWT).
I dzikir and I hence I am merupakan ungkapan suara hati yang dilakukan dengan pendekatan Ilmu Ma’rifat. Sementara I think and therefore I am merupakan ungkapan kata hati yang dilakukan melalui pendekatan Ilmu Pengetahuan. I dzikir and I hence I am dalam bahasa Ibnu Arabi merupakan Mantik Rasa yang pada gilirannya akan melahirkan aktivitas-aktivitas yang berpijak pada landasan dzikir. Sementara I think and therefore I am dilahirkan oleh Mantik Akal yang akan melahirkan paham-paham sekuler karena akal yang selalu menjadi barometer kebenaran. Padahal kebenaran itu datangnya dari ALLOH SWT maka janganlah kita menjadi orang-orang yang meragukan kebenaran (AL-QUR’AN) tersebut.
Dalam konteks khazanah keilmuan ekonomi, tampaknya ada beberapa poin penting yang dapat ditawarkan kaitannya dengan masalah paradigma di atas. Apabila sistem ekonomi yang dibangun dengan berbasis pada konsep ilahiyah, maka sebuah keniscayaan bahwa kesejahteraan masyarakat sesuai dengan prinsif ekonomi akan tercapai. nilai-nilai ekonomi yang mengedepankan kebaikan, keadilan, kejujuran dan keterbukaan menjadi kata kunci (key word) dalam proses implementasinya. Dengan pendekatan ekonomi Islam yang komprehensif sebuah keniscayaan wajah peradaban Islam akan kembali jaya. Dalam rumusan Ibn Al-Qayyim bahwa untuk mencapai keberhasilan sebuah peradaban harus mengedepankan konsep The seven creative satisfaction (7 kepuasan). Postulat tersebut adalah:
1) dari ragu kepada yakin,
2) dari kebodohan kepada ilmu,
3) dari lalai kepada ingat,
4) dari khianat kepada amanat,
5) dari riya’ kepada ikhlas,
6) dari lemah kepada teguh, dan
7) dari sombong kepada tahu diri.

Selanjutnya yang patut dipahami kembali adalah bahwa hakikat esensi Islam mengatur berbagai aspek kehidupan tanpa terkecuali pada aspek ekonomi. Pada tataran ini Islam bukan saja mengatur pada aspek-aspek yang sifatnya aqidah dan syari’ah saja, tapi bab muamalahpun menjadi sesuatu yang diperhatikan. Islam mengatur bagaimana hubungan antar sesama terjalin dengan baik, ukhuwah islamiyah menjadi sesuatu yang tidak terlupakan.
Untuk konteks kekinian, sistem ekonomi kapitalis sudah tidak relevan lagi dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat dunia. Buktinya, budaya masyarakat dan para pelaksana ekonomi yang konsumeris tidak lagi mengindahkan nilai kebenaran dan keadilan. Sehingga pada gilirannya akan bermuara pada satu komitmen bersama bahwa adil, merata, tidak main curang adalah keinginan bersama yang harus terpenuhi.
Konsep yang ditawarkan Islam sudah sangat jelas. Islam mengakomodir setiap hajat manusia tanpa mengecualikan orang diluar Islam. Sehingga dalam Islam tidak akan mengenal istilah moneter atau krisis ekonomi.
Krisis ekonomi dunia saat ini bukanlah yang pertama maupun yang terakhir. Boleh dikatakan, sejarah ekonomi Kapitalisme adalah sejarah krisis. Roy Davies dan Glyn Davies (1996), dalam buku The History of Money From Ancient time to Present Day, menguraikan sejarah kronologi krisis ekonomi dunia secara menyeluruh. Menurut keduanya, sepanjang Abad 20 telah terjadi lebih 20 kali krisis besar yang melanda banyak negara. Ini berarti, rata-rata setiap 5 tahun terjadi krisis keuangan hebat yang mengakibatkan penderitaan bagi ratusan juta umat manusia.
Krisis ekonomi sudah terjadi sejak tahun 1907; disusul dengan krisis ekonomi tahun 1923, 1930, 1940, 1970, 1980, 1990, dan 1998 – 2001 bahkan sampai saat ini. Di Asia Tenggara sendiri—khususnya Thailand, Malaysia dan Indonesia—krisis pernah terjadi pada tahun 1997-2002 hingga saat ini.
Untuk kembali mengingat kembali perjalanan sejarah ekonomi Islam kita dapat mengambil ibroh (pelajaran) dari kisah Rasulullah saat membangun Sistem Ekonomi Islam. Sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, pasar dan sistem perdagangan di kota itu dikuasai dan dimonopoli sepenuhnya oleh orang–orang Yahudi. Maju mundurnya masyarakat Madinah saat itu secara tidak langsung diatur oleh kapitalis Yahudi. Di dalam masyarakat terjadi penindasan, penzaliman dan riba dimana–mana. Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, maka selaku pemimpin, Baginda tidak bisa berdiam diri melihat kekacauan masyarakat Madinah yang bersumber pada eksploitasi oleh sistem ekonomi kapitalis. Langkah yang diambil Baginda adalah mengerahkan Sayidina Abdurrahman bin Auf, seorang hartawan, untuk membangun sistem ekonomi bertaraf ALLAH dan Rasul. Sayidina Abdurrahman bin Auf memulai dengan membangun pasar yang dikelola seratus persen oleh umat Islam sendiri berlokasi tidak jauh dari pasar Yahudi, yang kemudian diberi nama “Suqul Anshar“ atau pasar Anshar.
Semua orang Islam dihimbau untuk berjual beli dan melakukan semua aktivitas perdagangan di pasar itu tanpa bekerjasama sedikitpun dengan Yahudi dan tanpa terlibat dengan segala produk atau barang mereka. Dengan semangat perpaduan serta ketaatan pada ALLAH dan Rasul-Nya umat Islam saat itu menumpukan perhatian semata-mata di Suqul Anshar. Bahkan bukan itu saja, karena dalam sistem ekonomi Islam tidak ada penindasan atau riba serta amat memberi kemudahan dan di dalamnya juga terdapat semangat perpaduan dan rasa ber-Tuhan yang tajam, maka banyak orang bukan Islam dan orang luar kota pun tertarik untuk berdagang ke Suqul Anshar.
Hasil dari perjuangan itu maka dalam waktu singkat ekonomi Madinah beralih ke tangan umat Islam, sehingga ekonomi Yahudi yang sudah ratusan tahun, gulung tikar dan bangkrut bahkan mereka menjadi miskin dan akhirnya menutup pasar mereka. Dan karena sebab itu jugalah maka sampai saat ini mereka sangat membenci dan dendam pada umat Islam dan sangat menginginkan secara ekonomi, umat Islam berada dalam kekuasaan mereka tanpa umat Islam menyadarinya. Inilah sistem ekonomi Islam yang benar-benar akan menjamin kesejahteraan masyarakat dan bebas dari guncangan krisis ekonomi.
Sistem ini terbukti telah mampu menciptakan kesejahteraan umat manusia—Muslim dan non-Muslim—tanpa harus selalu berhadapan dengan krisis ekonomi yang secara berkala menimpa, sebagaimana dialami sistem ekonomi Kapitalisme.
Pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab (13-23 H/634-644 M), misalnya, hanya dalam 10 tahun masa pemerintahannya, kesejahteraan merata ke segenap penjuru negeri. Pada masanya, di Yaman, misalnya, Muadz bin Jabal sampai kesulitan menemukan seorang miskin pun yang layak diberi zakat (Abu Ubaid menuturkan, Al-Amwâl, hlm. 596). Pada masanya, Khalifah Umar bin al-Khaththab mampu menggaji guru di Madinah masing-masing 15 dinar (1 dinar=4,25 gr emas). (Ash-Shinnawi, 2006).
Lalu pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/818-820 M), meskipun masa Kekhilafahannya cukup singkat (hanya 3 tahun), umat Islam terus mengenangnya sebagai khalifah yang berhasil menyejahterakan rakyat. Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu, berkata, “Ketika hendak membagikan zakat, saya tidak menjumpai seorang miskin pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan setiap individu rakyat pada waktu itu berkecukupan.” (Ibnu Abdil Hakam, Sîrah ‘Umar bin Abdul ‘Azîz, hlm. 59).
Pada masanya, kemakmuran tidak hanya ada di Afrika, tetapi juga merata di seluruh penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Bashrah. Begitu makmurnya rakyat, Gubernur Bashrah saat itu pernah mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz, “Semua rakyat hidup sejahtera sampai saya sendiri khawatir mereka akan menjadi takabur dan sombong.” (Abu Ubaid, Al-Amwâl, hlm. 256).
Begitulah sejarah emas kaum Muslim pada masa lalu. Dengan melaksanakan semua syariah Allah dalam seluruh aspek kehidupan—termasuk dalam ekonomi—sebagai wujud ketakwaan kepada-Nya, Allah telah menurunkan keberkahan-Nya dari langit dan bumi kepada kaum Muslim saat itu. Mahabenar Allah Yang berfirman:
Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Namun, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu. Karena itulah, Kami menyiksa mereka akibat perbuatan mereka itu (QS al A’raf [7]: 96).
Demikianlah, perpaduan umat Islam saat itu dalam ketaatan kepada ALLAH dan Rasul-Nya, berhasil membangun ekonomi Islam dan sekaligus merobohkan musuh tanpa berperang secara fisik. Dan seharusnya kita sebagai umat Islam meneladani dan mengikuti sunnah Nabi kita sebagai suatu strategi untuk membangun sistem ekonomi Islam.
Keterkaitan dengan Local Wisdom maka paling tidak kita harus mengetahui secara pendekatan terminology dan epistemologi dulu. Istilah local wisdom (kearifan lokal) mempunyai arti yang sangat mendalam dan menjadi suatu kosa kata yang sedang familiar di telinga kita akhir-akhir ini. Banyak ungkapan dan perilaku yang bermuatan nilai luhur, penuh kearifan, muncul di komunitas lokal sebagai upaya dalam menyikapi permasalahan kehidupan yang dapat dipastikan akan dialami oleh masyarakat tersebut. Realita ini muncul ke permukaan karena tidak adanya solusi global yang dapat membantu memberikan jawaban terhadap segala kejadian yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka. Premis-premis umum yang selama ini menjadi standar bersama dalam membedah dan "mengobati" setiap penyakit yang timbul sudah tidak lagi menjangkau permasalahan yang mengemuka di komunitas lokal. Masyarakat yang menghuni di suatu tempat tertentu sudah dapat menyelesaikan permasalahannya dengan solusi yang penuh kearifan tanpa harus memakai standar yang berlaku secara umum.
Di sisi lain, komunitas lokal (local community) menjawab tantangan kehidupan ini dengan kearifan dan kebijaksanaan yang dimilikinya. Kearifan atau kebijaksanaan (wisdom) tersebut muncul bisa jadi karena pengalaman yang selama ini terjadi telah menjadikannya sebagai jawaban dan solusi terhadap masalah yang sedang dihadapinya. Faktor ke-terlibatan para pendahulu, nenek moyang, yang mewariskan tradisi tersebut kepada generasi berikutnya menjadi sangat penting bagi terjaganya kearifan tersebut. Dalam perkembangannya, bisa jadi kearifan yang timbul antar komunitas lokal itu berbeda dengan yang lainnya, tanpa menghilangkan subtansi yang dimiliki dari nilai kearifan tersebut, yaitu berfungsi sebagai solusi terhadap masalah yang ada di sekitanya. Sehingga, dalam beberapa hal akan memungkinkan timbulnya kearifan yang beranekaragam dari komunitas lokal tersebut, walau dengan obyek permasalahan yang sama.
Sebagai misal, orang Jawa yang tinggal di daerah gunung atau pedesaan akan berbeda kearifannya dengan orang Jawa yang tinggal di perkotaan tetkala sama-sama melihat permasalahan mereka di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Orang Jawa gunung-pedesaan akan mempunyai kecenderungan menjadi seorang petani yang tangguh lagi ulet dalam menghadapi tuntutan kehidupan dan lingkungan. Faktor alam juga menjadi penopang bagi diri orang Jawa gunung-pedesaan untuk menjadi seorang petani dari pada menjadi seorang pedagang atau bekerja di pabrik dan industri. Lain halnya dengan orang Jawa yang tinggal dan hidup di daerah perkotaan akan mempunyai kearifan lain yang menuntun dirinya sebagai seorang pedagang atau sebagai karyawan yang bekerja di perusahaan swasta atau bekerja sebagai pejabat di instansi pemerintahan dari pada bekerja sebagai seorang petani.
Contoh sederhana yang lainnya, dalam adat sunda terujar “tong cicing di lawang panto, matak nongtot jodo” (jangan duduk dipintu, nantinya tidak dapat jodo) dan “tong sasapu tipeuting matak jauh rejeki” (jangan menyapu malam-malam, akan menjauhkan rejeki).
Istilah-istilah yang muncul dalam kebiasaan orang sunda ini tidak ada salahnya
***
Ekonomi Islam di Indonesia secara riil sudah dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat muslim pada tingkat keluarga. Bahkan, komunitas muslim tertentu telah men-jalankan tata cara pemenuhan kebutuhan hidupnya dengan penuh kearifan dan kebijak-sanaan. Nilai-nilai wisdom (kearifan) tersebut dijadikan acuan di dalam melakukan kegiatan ekonomi. Dalam hal ini, ekonomi Islam difahami sebagai tata cara pemenuhan kebutuh-an hidup yang orientasinya didasarkan pada aturan syariah Islam untuk pencapaian keridhaan Allah Swt. Terminologi normative ini akan dapat diaplikasikan secara riil oleh umat Islam jika ada standar nilai ketaatan kepada aturan yang sudah baku terhadap nash-nash al-Qur'an atau Sunnah Nabawiyah. Banyak ayat al-Qur'an dan as-Sunnah yang memberikan panduan terhadap umat Islam untuk melakukan kegiatan ekonomi yang sesuai dengan petunjuk-Nya. Larangan riba, promosi jual beli, hidup sederhana, tidak bertindak berlebihan atau melampaui batas (no israf), tidak berbuat kerusakan (no fasad), intensifikasi zakat dan shadaqah, serta perintah bekerjasama dalam usaha adalah deretan ajaran Islam yang mengandung nilai ekonomi.
Perilaku ekonomi umat Islam mengarah kepada nilai-nilai dasar yang telah digariskan dalam ajaran Islam seperti yang ada di atas. Praktek riba sudah divonis sebagai sesuatu yang haram dan harus ditinggalkan oleh pelaku ekonomi muslim. Pengharaman riba ini menjadi sesuatu yang fundamental dalam ekonomi Islam. Bahkan, instrumen riba tersebut menjadi pembeda antara status orang muslim dengan orang kafir. Artinya, pelaku praktek riba sudah tidak diakui keislamannya dan termasuk kepada golongan orang-orang yang kafir. Mengapa ajaran Islam memberikan penegasan seperti ini? Hal ini dikarenakan riba menjadi sesuatu yang mengerikan dan merusak sistem perekonomian. Dengan riba, ada pihak yang didzalimi. Bahkan, riba merupakan salah satu penyebab krisis ekonomi. Keseimbangan (equilibrium) dalam ekonomi akan tercabut tetkala praktek riba menjadi pondasi setiap kegiatan ekonomi. Maka tidak salah, jika masyarakat kita memberikan laqob (gelar) kepada para pengambil riba sebagai "lindah darat". Lintah adalah suatu binatang yang biasa tinggal di air dengan darah sebagai menu kesukaannya. Jika ada "lindah darat" maka mereka adalah pengambil riba yang menghisab darah masyarakat di darat melalui pengembangbiakan uang dengan sistem bunga. Secara historis, pelarangan praktek riba sudah ada sejak zaman dahulu. Sebelum Nabi Muhammad Saw membawa risalah keislaman, Nabi-Nabi terdahulu sudah menegaskan akan keharaman riba. Bahkan, para filosof Yunani Kuno sudah memberikan kecaman yang keras terhadap praktek riba.
Sebagai solusinya, ajaran Islam mempromosikan jual-beli sebagai satu model pengganti praktek riba. Dalam al-Qur'an ditegaskan secara nyata bahwa jual-beli me-rupakan sesuatu yang halal untuk dipraktekkan dalam mengisi kegiatan ekonomi. Dengan adanya jual-beli berarti meneguhkan kembali nilai keseimbangan ekonomi, karena di dalamnya terjadi interaksi antara pihak pemilik barang (penjual) dan pihak yang memiliki uang (pembeli). Realita ini menguatkan terjadinya sirkulasi barang dan uang secara riil. Seumpamanya, selama dalam kurun waktu satu tahun tidak terjadi transaksi jual-beli akan dapat dipastikan adanya penumpukkan barang dan uang pada satu pihak. Oleh karena itu, ajaran Islam memandu umatnya untuk melakukan jual-beli secara tidak langsung telah memberikan andil dalam proses penyehatan kegiatan ekonomi.
Nilai ekonomi Islam yang lain dapat berupa peniadaan sikap berlebihan dan berbuat kerusakan dalam menjalankan aktifitas ekonomi. Kedua perilaku ini termasuk ke dalam negative action yang membawa kepada implikasi terjadinya ketidakseimbangan ekonomi atau bahkan ketidakseimbangan kosmos ini sendiri. Dalam skala ekonomi mikro, perilaku berlebihan akan berakibat pada tidak terdistribusikan barang konsumsi secara merata, karena ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkannya dalam porsi yang tidak wajar, sudah berlebihan, sedang di pihak lain ada yang mengalami kekurangan dalam mengkonsumsi barang yang diperlukan.
Adanya pembalakan liar beberapa hutan di kawasan nusantara memberikan konstribusi peningkatan kerusakan di alam. Aturan normativ syariah Islam menuntun bagi umatnya untuk selalu menjauhi perbuatan yang mengarah kepada kerusakan lingkungan. Beberapa masyarakat yang tinggal di sekitar hutan telah menyadari akan pentingnya keseimbangan hidup di lingkungan sekitar. Masyarakat sekitar hutan telah memahami sekaligus telah mempraktekkan pengetahuan tentang ekonomi lingkungan. Bagaimana cara memenuhi kebutuhan hidup dengan bersandar pada hutan yang ada di lingkungannya? Mereka menjadikan hutan dan lingkungan sekelilingnya seperti nyawa yang ada di badannya. Hubungan simbiosis yang saling menguntungan ini tetap terjaga secara harmoni. Karena, jika hutan yang ada di lingkungan sekitarnya mengalami kerusakan secara tidak langsung akan mengancam jiwanya. Begitulah, sikap kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat pinggiran hutan. Perbuatan mereka ini telah mencerminkan pelaksanaan ekonomi Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Lain halnya, dengan perilaku yang dijalani oleh petani yang tinggal di pedesaan. Kesederhaan telah menjadi gaya hidup mereka. Pagi hari, para petani pergi bersama ke sawahnya. Mereka bercocok tanam dengan berharap agar pengelolaan sawahnya dapat memberikan penghasilan yang nantinya bisa dinikmati untuk memenuhi kebutuhan hidup-nya. Mereka adalah sosok pribadi yang terlatih untuk menjalani hidup dengan selalu tawakkal kepada Allah SWT, Dzat Yang Mengatur kehidupan di alam ini. Hanya karena kemurahan dan anugerah dari Allah Swt, para petani dapat menikmati hasil panen sawah yang dikelolanya dengan penuh kesabaran. Perilaku kehidupan petani ini telah mencermin-kan adanya kearifan lokal (local wisdom) yang terus dipertahankan oleh mereka. Betapa indahnya mengarungi kehidupan ini dengan diterangi oleh sinar-sinar kearifan lokal yang bersumber dari ajaran ekonomi Islam.
(disar
Wallohu’alam.ikan dari hasil diskusi dan beberapa sumber)

ONTOLOGIS< EPISTEMOLOGIS DAN AKSIOLOGIS

ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI

PENDAHULUAN
Dalam paradigma keilmuaan kita akan mengenal beberapa landasan ilmu. Pertama disebut landasan ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?. Kedua di sebut dengan landasan epistimologis; berusaha menjawab bagaimna proses yang memungkinkan di timbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus di perhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/tehnik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?. Sedang yang ketiga, di sebut dengan landasan aksiologi; landasan ini akan menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional? [1]
Jadi untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya. Denganb mengetahuan jawaban-jawaban dari ketiga pertanyaan ini maka dengan mudah kita dapat membedakan berbagai jenis pengetahuan yang terdapat dalam khasanah kehidupan manusia. Hal ini memungkinkan kita mengenali berbagai pengetahuan yang ada seperti ilmu, seni dan agama serta meletakkan mereka pada tempatnya masing-masing yang saling memperkaya kehidupan kita. Tanpa mengenal ciri-ciri tiap pengetahuan dengan benar maka bukan saja kita dapat memanfaatkan kegunaanya secara maksimal namun kadang kita salah dalam menggunakannya. Ilmu di kacaukan dengan seni, ilmu dikonfrontasikan dengan agama, bukankah tak ada anarki yang lebih menyedihkan dari itu?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ontologi
Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya dilakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak digunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
1. Objek Formal
Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di fahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental.
2. Metode dalam Ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik.
Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.
Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih dahulu dari predikat; dan pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan.
Contoh : Sesuatu yang bersifat lahirah itu fana (Tt-P)
Badan itu sesuatu yang lahiri (S-Tt)
Jadi, badan itu fana’ (S-P)
Sedangkan pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah realitas kesimpulan; dan term tengah menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam kesimpulan hanya saja cara pembuktian a posterioris disusun dengan tata silogistik sebagai berikut:
Contoh : Gigi geligi itu gigi geligi rahang dinasaurus (Tt-S)
Gigi geligi itu gigi geligi pemakan tumbuhan (Tt-P)
Jadi, Dinausaurus itu pemakan tumbuhan (S-P)
Bandingkan tata silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang apriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan predikat dan term tengahj menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan; sedangkan yang a posteriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan subjek, term tengah menjadi akibat dari realitas dalam kesimpulan. [2]
Sementara Jujun S. Suriasumantri dalam pembahasan tentang ontologi memaparkan juga tentang asumsi dan peluang. Sementara dalam tugas ini penulis tidak hendak ingin membahas dua point tersebut.

B. Epistemologi
Masalah epistemology bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan dengan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat di ketahui. Memang sebenarnya, kita baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemology. Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanyalah kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin dapat menetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya.
Manusia tidak lah memiliki pengetahuan yang sejati, maka dari itu kita dapat mengajukan pertanyaan “bagaimanakah caranya kita memperoleh pengetahuan”? [3]

Beberapa metode untuk memperoleh Pengetahuan:
a. Empirisme
Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa),dan di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama dan sederhana tersebut.
Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan,yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu di lacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang factual.
b. Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.

c. Fenomenalisme
Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang pengalaman. Baran sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinyan sendiri merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu seperti keadaanya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon).
Bagi Kant para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan di dasarkan pada pengalaman-meskipun benar hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentuk-bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta pengalaman.

d. Intusionisme
Menurut Bergson, intuisi adalah suau sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif.
Salah satu di antara unsut-unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson ialah, paham ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di samping pengalaman yang dihayati oleh indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant masih tetap benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman harus meliputi baik pengalaman inderawi maupun pengalaman intuitif.
Hendaknya diingat, intusionisme tidak mengingkati nilai pengalaman inderawi yang biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme – setidak-tidaknya dalam beberapa bentuk-hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap di peroleh melalui intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi-yang meliputi sebagian saja-yang diberikan oleh analisa. Ada yang berpendirian bahwa apa yang diberikan oleh indera hanyalah apa yang menampak belaka, sebagai lawan dari apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan hanya intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaanya yang senyatanya.
e. Dan masih masih banyak lagi yang menjadi bahasan dalam epistemology.

C. Aksiologi
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada diambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kamanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. “bukan lagi Goethe yang menciptakan Faust.” Meminjamkan perkataan ahli ilmu jiwa terkenal carl gustav jung,” melainkan faust yang menciptakan Goethe.”
Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya: untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaa semacam ini jelas tidak merupakan urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya; namun bagi ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah mengalami dua kali perang dunia dan hidup dalam bayangan kekhawatiran perang dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak dapat di elakkan. Dan untuk menjawan pertanyaan ini maka ilmuan berpaling kepada hakikat moral.
Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan di antaranya agama. Timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo (1564-1642), oleh pengadilan agama tersebut, dipaksa untuk mencabut pernyataanya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Sejarah kemanusiaan di hiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Peradaban telah menyaksikan sokrates di paksa meminum racun dan John Huss dibakar. Dan sejarah tidak berhenti di sini: kemanusiaan tak pernah urung di halangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral maka ilmuwan mudah sekali tergelincir dapat melakukan prostitusi intelektual. Penalaran secara rasional yang telah membawa manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini berganti dengan proses rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran. “segalanya punya moral,” kata Alice dalam petualangannya di negeri ajaib, “asalkan kau mampu menemukannya.” (adakah yang lebih kemerlap dalam gelap; keberanian yang esensial dalam avontur intelektual?).
Jadi pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang ontologi ini adalah berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional? [4]

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat di tarik kesimpulan :
1. Ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?.
2. Epistemologi berusaha menjawab bagaimna proses yang memungkinkan di timbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus di perhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/tehnik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?.
3. Aksiologi menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral? [5]


DAFTAR PUSTAKA

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996.
Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Penerbit Rake Sarasin, Yogjakarta, 2001.
Louis O. Kattsouff, Pengantar filsafat, Tiara Wacana, Yogjakarta
Sidi Gazalba, Sistematika filsafat II, Yogjakarta, 1995.

.

MEMBEDAH KONSEP TALFIQ, TAQLID DAN ITTIBA’

MEMBEDAH KONSEP TALFIQ, TAQLID DAN ITTIBA’
Oleh : Ade Surya Wirawan
Prodi/Semester : Ekonomi Syari’ah/Satu


A. Pendahuluan
Ilmu Ushul Fiqh merupakan metode dalam menggali dan menetapkan hukum, ilmu ini sangat berguna untuk membimbimbing para mujtahid dalam mengistimbatkan hukum syara’ secara benar dan dapat dipertanggung jawabkan hasilnya. Melalui ushul fiqh dapat ditemukan jalan keluar dalam menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan dengan dalil lainnya.
Dalam ushul fiqh juga dibahas masalah talfiq, taklid dan ittiba’. Ketiganya memiliki arti yang berbeda dan maksudnya pun berbeda. Tetapi ketiga-tiganya sangat jelas diatur dalam Islam. Ittiba’ ini didasarkan dalam Al-Qur’an surat An-nahl ayat 43 yang artinya :
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
B. TAQLID
1. Pengertian
Kata taqlid berasal dari bahasa Arab yang kata kerja (fi’il) nya ialah qallada, yuqallidu, taqlidan yang mempunyai arti bermacam-macam seperti: mengalungi, meniru atau mengikuti. Sedangkan para ulama ushul fiqh mendefinisikannya yaitu: penerimaan perkataan seseorang sedang engkau tidak mengetahuinya dari mana asal perkataan tersebut . Jadi menurut ulama usul ada 2 hal yang terdapat dalam taqlid yaitu:
1). Menerima atau mengikuti perkataan orang.
2). Perkataan atau pendapat yang diikuti atau yang diterima itu tidak diketahui dasar atau alasannya apakah ada dalam Al-Qur’an dan hadits.

2. Hukum Taqlid
Sebagaimana diketahui bahwa hukum amaliyah yang menjadi objek pembahasan ilmu fiqh terbagi atas dua macam :
a) Hukum amaliyah yang tidak memerlukan penelitian dan ijtihad. Yakni hukum-hukum yang telah ditetapkan dalil-dalil qath’i dan dapat diketahui dengan segera tanpa penelitian yang mendalam sebagai ketentuan syari’at yang sudah positif seperti rukun islam dan keharaman dosa besar.
b) Hukum amaliyah yang masih memerlukan penelitian dan ijtihad. Amaliyah yang demikian ini banyak sekali jumlahnya dan menjadi ajang perselisihan pendapat di kalangan para ulama. Orang yang berusaha dengan bersusah payah mengadakan penelitian ini adalah para mujtahid yang telah memiliki segala sarana dan kemampuan untuk berijtihad. Seperti para orang awam yang tidak memiliki sarana penelitian untuk mencari dalil untuk mengistimbadkan hukum dari padanya. Maka diharuskan menganbil pendapat para mujtahid, sebab setiap orang yang tidak mengetahui suatu hukum perbuatan dan tidak mampu berijtihad wajib menanyakan kepada seseorang yang ahli, sebagaimana yang diperintahkan oleh allah dalam firman-NYA:
        
Artinya :
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak miengetahuinya”

Jika tidak dengan cara demikian, kemungkinan seseorang akan kesulitan dalam mengamalkan dan memberikan beban kepada para mukallaf dalam mengistimbadkan suatu hukum, merupakan pemaksaan , oleh karna itu suatu rahmat lantaran tuhan memerintahkan mereka mengikuti para ulama dan tidak mewajibkan mengadakan penelitian dan berijtihad karna ketidak mampuan.
Apabila seorang muqallid bertaqlid suatu masalah kepada seorang mujtahid lalu mengamalkannya, tiba-tiba ia mencabut apa yang ditaqlidkannya untuk beralih taqlid kepada mujtahid lainnya, maka yang demikian itu tidak dibenarkan sebab mencabut taqlid setelah mengamalkan adalah batal menurut pendapat yang disepakati para ulama.
Adapun dalam konsep taqlid ada 3 macam hukum taqlid, yaitu:
1. Taqlid Yang Haram
Para ulama membagi taqlid ini menjadi 3 yaitu:
a) Taqid yang membagi taqlid adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits.
b) Taqlid kepada orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan keahliannya, seperti orang yang menyembah berhala, tetapi ia tidak mengetahui kemapuan, kekuasaan dari berhala tersebut.
c) Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang sedangkan yang bertaqlid mengetahuinya bahwa perkataan atau pendapat itu salah.

2. Taqlid yang dibolehkan.
Taqlid yang dibolehkan apabila bertaqlid kepada seorang atau beberapa orang mujtahid yang ia belum ketahuinya hukum Allah dan Rasulnya yang berhubungan dengan persoalan atau peristiwa dengan syarat bahwa harus selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti itu, dengan kata lain bahwa taqlid ini hanya untuk sementara saja. Taqlid ini dilakukan selama belum diketahui dalil yang kuat yang dapat dijadikan untuk memecahkan persoalan itu. Termasuk pula taqlid orang awam kepada ulama yang dipercayainya selama orang awam itu belum menemukan alasan dari pendapat ulama yang diikutinya itu.
Para ulama dalam kaitan bertaqlid kepada imam-imam, terlebih dahulu membagi kelompok masyarakat kepada 2 golongan yaitu:
1) Golongan awam atau orang yang berpendapatkan wajib bertaqlid kepada pendapat salah satu dari keempat mazhab tersebut.
2) Golongan yang memenuhi syarat-syarat ijtihad, sehingga tidak dibenarkan bertaqlid kepada ulama-ulama yang berpendapat yaitu: Al ‘Adhud (wafat 573 H), Ibnu Hajib (wafat 646 H), Ibnu Subki (wafat 771) dan Al Mahalli (wafat 886 H). Mereka berempat menyatakan bahwa ada 2 arti taqlid yaitu:
1) Taqlid dengan arti luqhawi (bahasa) yaitu beramal atau mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui sama sekali dasar dari pada pendapat itu.
2) Taqlid dengan arti urfi (populer) yaitu beramal atau mengikuti pendapat seseorang, sedang dasar dari pendapat itu tidak diketahui dengan sempurna.
3. Taqlid yang wajibkan, yaitu bertaqlid kepada perkataan dan perbuatan Rasulullah SAW.
4. Taqlid Yang Berkembang. Taqlid yang berkembang sekarang terutama di Indonesia ialah bertaqlid kepada buku.
3. Syarat-syarat taqlid
Syarat-syarat taqlid terbagi atas dua, yaitu :
a) Syarat pada orang yang bertaqlid
b) Syarat pada soal-soal yang di taqli

a. Syarat pada orang yang bertaqlid
yang diperbolehkan bertaqlid ialah orang awam (orang biasa) yang tidak mengerti cara mencari hukum syari’at ia boleh mengikuti orang pandai dan mengamalkannya. Sedangkan orang pandai dan sanggup mencari sendiri hukum-hukum syari’at, maka harus berijtihad sendiri, bila waktunya masih cukup. Tetapi bila waktunya sudah sedikit dan dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakannya (dalam soal-soal ibadah) maka menurut suatu pendapat boleh mengikuti pendapat orang pandai lainnya.
b. Syarat soal yang ditaqlid
Mengenai syarat yang kedua ini, soal yang di taqlid mencakup dua hukum :
a) Hukum akal
Dalam hukum akal tidak boleh bertaqlid kepada orang lain seperti mengetahui zat yang menjadikan alam serta sifat-sifat-NYA dan hokum akal lainnya. Karna jalan-jalan menetapkan hukum tersebut adalah akal. Allah sangat melarang taqlid dengan soal tersebut dalam firmannya,

                       
Artinya : “Apabila dikatakan kepada mereka, ikutilah perintah yang dikatakan tuhan . Maka mereka menjawab : ‘tetapi kami mengikuti apa-apa yang kami peroleh dari orang tua kami’, meskipun orang tua mereka tidak memikirjan sesuatu dan tidak pula mendapat petunjuk”.

b) Hukum Syara’
Hukum Syara’ dapat dibagi menjadi dua ;
1. Yang diketahui dengan pasti dari agama
2. Yang diketahui dengan penyelidikan dan mencari dalil, seperti soal-soal ibadah yang kecil.
Taqlid yang diharamkan terbagi atas dua macam :
a) Taqlid kepada orang lain dengan tidak memperdulikan alqur’an dan hadits
b) Taqlid kepada orang yang tidak diketahui keahliannya untuk di taqlidkan.

B. ITTIBA’
1. Pengertian
Ittiba’ berasal dari kata bahasa arab yang kata kerja (fii’ilnya) ialah “Ittiba’a, Yattabi’u, ittibaa’an, muttab’un yang berarti “menurut atau mengikuti”. Orang yang mengikuti disebut muttabi’.
Menurut ulama ushul fiqh, ittiba’ ialah mengikuti atau menurut semua yang diperintahkan, yang dilarang dan dibenarkan Rasulullah SAW. Dengan perkataan lain ialah melaksanakan ajaran agama Islam sesuai dengan yang dikerjakan Nabi Muhammad SAW, baik berupa perintah atau larangan.
Sejak jaman Rasulullah SAW perintah untuk ittiba’ ini selalu ditentang sehingga hanya sedikit umat yang mempercayai beliau. Sebagaiman firman Alloh SWT yang artinya:
"Apabila dikatakan kepada mereka, 'Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul'. Mereka menjawab, 'Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya. 'Dan apakah mereka akan mengikuti juga ne-nek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk...?" (Q.S. AI-Maa'idah: 104)

2. Macam-Macam Ittiba’
Ada 2 macam ittiba’ yaitu kepada Allah dan RasulNya dan ittiba’ kepada selain Allah dan RasulNya.
a. Itiba’ Kepada Allah dan RasulNya
Sepakat para ulama bahwa seluruh kaum muslimin wajib mengikuti segala perintah Allah SWT dan menjauhi laraganNya sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya: “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-epemimpin selanNya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)”.

Perintah dan larangan Rasul ini ada yang berupa menguatkan apa yang telah dianyatakan Al-Qur’an atau menjelaskan atau menyebutkan sesuatu yang belum disebut dalam Al-Qur’an. Seperti perintah berbuat baik yang tersebut dalam Al-Qur’an atau anjuran nikah, kemudian hal ini ditegaskan pula oleh hadits-hadits Nabi SAW.
Perintah mengerjakan shalat lima waktu disebut dalam Al-Qur’an secara garis besarnya saja, kemudian dijelaskan oleh hadits bagiamana cara mengerjakan shalat itu dan sebagainya. Ittiba’ kepada Allah dan RasulNya ini dilaksanakan para sahabat dengan baik dimasa Rasulullah SAW masih hidup dan diwaktu beliau telah meninggal dunia.

b. Ittiba’ selain kepada Allah dan RasulNya.
Berbeda pendapat para ulama tetnang ittiba’ kepada para ulama atau kepada para mujtahid. Ada yang berpendapat membolehkannya dan ada yang tidak membolehkannya. Imam Ahmad bin hanbal menyatakan bahwa ittiba’ itu hanya dibolehkan kepada Allah, Rasulnya dan para sahabat saja tidak boleh kepada yang lain.
Pendapat yang lain membolehkan berittiba’ kepada para ulama yang dapat dikategorikan sebagai ulama waratstul anbiyaa’ (ulama sebagai pewaris para Nabi). Mereka beralasan dengan firman Allah SWT dalam Sirat An Nahl : 43 yang
Artinya: “Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang laki-laki yang kami beri wahyu kepada mereka. Maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui”.

3. Tujuan Ittiba’
Seorang yang akan melakukan itiba’ tidak memerlukan syarat-syarat seperti syarat-syarat yang diperlukan seorang mujtahid. Jika ia tidak sanggup memecahkan suatu persoalan agama ia wajib bertanya kepada seorang mujtahid atau orang yang benar-benar mengerti hukum-hukum agama Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan hadits. Setelah ia menerima jawaban itu sesuai dengan Al-Qur’an dan hadits, maka hendaklah ia mengamalkannya dengan demikian diharapkan agar setiap kaummuslimin, sekalian itu orang awam dapat mengamalkan ajaran Islam dengan penuh keyakinan dan pengertian, tanpa doselimuti keragu-raguan sedikitpun.
Akan tetapi seandainya jawaban yang diberikan oleh mujtahid itu diragukan kebenarannya. Maka tidak wajib diamalkan, ia boleh bertanya kepada mujtahid yang lain utnuk mendapatkan jawaban yang memuaskannya.

C. TALFIQ
1. Pengertian
Talfiq menurut bahasa artinya menyamakan atau merapatkan 2 tepi yang berbeda, seperti perkataan. Artinya: Mempertemukan dua tepi kain kemudian menjahitnya.
Talfiq ialah mengambil atau megikuti hukum dari suatu peristiwa atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai macam mazhab. Pada dasarnya talfiq dibolehkan oleh agama selama tujuan pelaksanaan talfiq itu semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang paling benar dalam arti setelah meneliti dasar hukum dari pendapat-pendapat itu.

2. Tujuan Talfiq
Tujuan talfiq ialah mencari-cari mana yang mudah untuk mengambil dari tiap-tiap mazhab mana pendapat yang enteng. Dan inilah yang diperselisihkan. Adapun yang telah diputuskan oleh hakim dengan menyalahi nash dan qiyas yang jali maka itu terang dilarang. Para ulama dalam menghadapi masalah mencari-cari mana yang mudah, berbagi kepada beberapa bagian:
a) Ada yang mengatakan tidak boleh seperti Al ghazali, Asy Syathibi, Al Jalalul Mahalli.
b) Ada yang mengatakan boleh dengan syarat seperti Al Izz Ibn Abdi Salam. Beliau berkata: manusia sejak dari zaman sahabat hingga lahir mazhab bertanya tentang apa yang mereka perlukan kepada ulama yang berbeda pendapat tanpa ada teguran dari siapa pun, baik ia mengikuti yang mudah-mudah saja, ataupun ia mengikuti yang berat.
c) Ibnu Aththar berkata: kesimpulannya boleh talfiq, boleh mencari-cari yang mudah, cuman jangan mencari-cari yang mudah itu dalam suatu hukum yang diperoleh dari dua Ijtihad. Dan masih banyak juga yang menyatakan boleh talfiq.

C. Kesimpulan
Dari pengertian Taqlid dan Ittiba’ serta talfiq di atas maka dapat disimpulkan bahwa taqlid ini mengikuti atau mengambil pendapat seorang mujtahid tanpa mengetahu dasar dimana dalam taqlid ada hukum amaliyah yang tidak memerlukan penelitian dan ada pula taqlid yang memerlukan penelitian dan ijtihad, sedangkan mengikuti pendapat mujtahid dengan mengetahui sumber pengambilannya. memilih ajaran adalah merupakan perbuatan talfiq.
Seseorang boleh bertaqlid apabila perkataan atau pendapat yang diikuti atau yang diterima itu tidak diketahui dasar atau alasannya apakah ada dalam Al-Qur’an dan hadits bahakan atau tidak sama sekali, akan tetapi taqlid ini hanya dilakukan selama belum diketahui dalil yang kuat yang dapat memecahkan persoalann tersebut.
Ittiba’ berarti menurut atau mengikuti semua yang diperintahkan, dilarang oleh Allah dan dibenarkan oleh Rasulullah SAW. Sedangkan orang yang mengikuti disebut muttabi’. Talfiq dilakukan untuk mencari-cari mana yang mudah dan mengambil dari tiap-tiap mazhab untuk mencari mana yang mudah.
Talfiq adalah menghimpun atau bertaqlid dengan dua imam madzhab atau lebih dalam satu perbuatan yang memiliki rukun, bagian-bagian yang terkait satu dengan lainnya yang memiliki hukum khusus. Ia kemudian mengikuti satu dari pendapat yang ada.
Bagi siapapun yang berkeinginan menjadi umat Rasulullah SAW yang benar, taat dan patuh, hendaknya mengikuti apa yang beliau perintahkan (ittiba’) dan jangan mengikuti apa bukan dari rasulullah SAW dan jangan sembarangan mengikuti apa yang bukan datang dari beliau melalui lisannya para ulama dan salafushalih karena tidak mengetahui dasar hukum (taklid). Begitupun janganlah kita termasuk umat beliau yang memilah-dn memilih ajaran, yang mudah-mudah dilaksankan yang dianggap sukar ditinggalkan. Pada dasarnya Islam datang membawa kemudahan.


DAFTAR PUSTAKA

Muhtar, Yahya, Tatur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam,
Al Ma’arif, Bandung. 1993
Dr. Qurasy Shyhab, Qaidah-Qaidah Istinbath dan Ijtihad, Departemen Agama,
IAIN Jakarta. 1986
Hanafie . A . 1993 . Ushul Fiqh . Jakarta : Widjaya Kusuma
Yahya . Mukhtar dan Fathur Rahman . 1993 . Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami . Bandung : Al ma’arif

Minggu, 08 November 2009

I DZIKIR AND I HENCE I AM Versus I THINK AND THEREFORE I AM


I DZIKIR AND I HENCE I AM Versus I THINK AND THEREFORE I AM
(Sistem Ekonomi Islam Versus Ekonomi Kapitalis)


MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam

Dosen : Dr. Murasa Sarkaniputra, M.Si


Disusun oleh :
ADE SURYA WIRAWAN NIM. 505950001


Konsentrasi Ekonomi Syari’ah PROGRAM PASCASARJANA SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI CIREBON 2009




Tugas : Pokok Pikiran Diskusi
Oleh : ADE SURYA WIRAWAN
Mata Kuliah : Sejarah Pemikiran Ekonomi Syari’ah
Program Studi : Ekonomi Syari’ah PPs STAIN Cirebon
Dosen Pengampu : Dr. Murasa Sarkaniputra, M.Si
Hari/Tanggal : Jum’at, 16 Oktober 2009


I DZIKIR AND I HENCE I AM Versus I THINK AND THEREFORE I AM
(Sistem Ekonomi Islam Versus Ekonomi Kapitalis)


I Think and therefore I am. “Aku Berpikir, dan karena itu Aku Ada” Demikian ungkapan Immanuel Kant. Kant lahir di Konigsberg, 22 April 1724 dan meninggal di kota yang sama 12 Februari 1804. Seorang filsuf Jerman ini telah dipengaruhi oleh Rene Descartes (Perancis, 1596 – 1650). Berarti telah 2 abad sebelumnya Descartes telah meletakkan dasar ini. Pemikiran ini yang memberikan pemahaman kepada kita, bahwa keberadaan (eksistensi) manusia ditentukan oleh seberapa jauh dan seberapa seriusnya kita memanfaatkan dan memberdayakan pemikiran kita. Pandangan Kant, menunjukkan bahwa Akal pikiran menjadi pangkal segalanya dalam melihat realitas kehidupan. Kehidupan merupakan sebuah realitas yang harus dipahami sebagai sebuah konsekuensi akal. Didalamnya termasuk realitas kehidupan ekonomi. Dalam pandangan Kant (dengan Rasionalismenya) dunia adalah sebuah wujud materi yang realistis. Paham ini juga yang kemudian melahirkan pemahaman materialisme atau paham kebendaan. Materi dipandang sebagai sesuatu yang serba bebas nilai (value free). Tidak lebih dari itu. Jika dilihat dari KantDogma ini bertahan lama hingga kurang lebih 2 abad lamanya. Karena itu, maka sistem ekonomi dunia barat (western) meng-Ilah-kan pada paradigma ini.
Teori yang sudah menjadi dogmatis ini kemudian dibantah (diruqyah) oleh Hidayat Nataatmaja. Dalam karya agungnya “General Theory of The Light of Science” (2006) Hidayat membantah keras atas pandangan-pandangan Barat yang sudah berkiblat pada Kantstian ini. “I Think and therefore I am” telah membawa “kesesatan” yang nyata pada berbagai prinsif kehidupan manusia pada zamannya dan zaman berikutnya. Hidayat memandang bahwa alam dan wujud ini tidak serta merta hadir (Ontolgism: sesuatu yang ada) dengan sendirinya, begitupan berbagai materi yang menempel padanya—termasuk manusia—hanyalah merupakan sebagian kecil dari wujud materi alam ini. Sehingga manusiapun dengan AKALnya hanyalah manusia biologis yang tidak berdaya
Pendekatan yang dilakukan oleh Hidayat bukan saja dipandang BENAR secara pendekatan transendental (transendental approach) namun secara pendekatan ilmiah (science approach) pun telah dapat dibuktikan kebenaranya. Bahwa alam ini—termasuk manusia didalamnya—tidaklah wujud dengan sendirinya karena adanya persenyawaan unsur-unsur material saja, tetapi keterikatan dengan sebuah Hukum Ilahiyah yang tidak dapat dijangkau oleh pendekatan AKAL semata yang para pemikir menyebutnya pendekatan ilmiah. Tetapi harus diingat bahwa pendekatan transendental jauh lebih dapat diterima karena ini adalah diluar nalar manusia. Artinya adanya sebuah keterkaitan dengan yang menciptakan Akal. Tentu berbagai kepercayaan (agama) apapun di dunia akan mengatakan sepakat ialah Alloh SWT. Meski dengan bahasa lisan (logat), istilah yang berbeda dengan mengistilahkan “Tuhan” namun intinya sama akan bermuara pada makna luhur yakni Alloh SWT.

Pada hakikatnya kita telah melakukan transaksi transendental saat kita di alam ruh. sebagaimana Alloh SWT menggambarkan dalam Al-Qur’an Surat Al’araf ayat 172:


172. Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".
Ayat tersebut memberikan penegasan pada kita bahwasannya hidup kita berawal dari alam rahim. Alam rahim merupakan alam pertama yang manusia lalui Dalam Alam rahim inilah, saat dimana manusia diciptakan dari setes air mani yang kemudian Alloh rubah menjadi segumpal darah kemudian berubah menjadi segumpal daging, lalu daging itu Alloh bungkus dan dan menjadi sesuatu yang berbentuk. Makna inilah yang kemudian Alloh tiupkan ruh sehingga jadilah apa yang disebut sebagai manusia.
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baik." (QS. Al-Mu'minun : 12-14).
Sebagai manusia, hakikatnya kita telah melakukan transaksi dengan Alloh. Transakti dalam pengertian telah melakukan sebuah persaksian (bersyahadah). Bahwasannya kita telah mengakui bahwa Alloh adalah TUHAN kita. Dr. Murasa menyebutnya sebagai dzikirnya manusia saat di alam rahim. Dzikir adalah getar menggetar antara RUH dalam diri manusia dengan dzat Alloh SWT. Sehingga dalam konteks kekinian dzikir kita saat di alam rahim jangan sampai terkalahkan oleh berbagai bentuk godaan yang memalingkan kita dari kebenaran Alloh SWT.
Pada posisi dimana kita akan dihadapkan dengan dua pilihan, sebagai cerminan potensi antara ilham fujur dan ilham taqwa. Ilham taqwa merupakan cerminan potensi yang mengedepankan akal sehat sehingga membawa diri kepada kebaikan. Sementara ilham fujur merupakan potensi yang mengedepankan akal busuk sehingga membawa diri pada keburukan. Padahal lebih penting dari itu adalah “I DZIKIR AND I HENCE I AM” Saya Berdzikir Maka Saya Ada. .
Versi ini sebenarnya bukan saja berbeda namun lebih dari itu, makna yang tersurat maupun yang tersirat dari kata-kata bijak ini bertentangan dengan pendapatnya Kant. Betapa tidak Kant lebih mengedepankan AKAL, sementara Hidayat Nataatmaja lebih berpijak pada kepastian Agama tentang eksistensi Tuhan (baca: Alloh SWT).
I dzikir and I hence I am merupakan ungkapan suara hati yang dilakukan dengan pendekatan Ilmu Ma’rifat. Sementara I think and therefore I am merupakan ungkapan kata hati yang dilakukan melalui pendekatan Ilmu Pengetahuan. I dzikir and I hence I am dalam bahasa Ibnu Arabi merupakan Mantik Rasa yang pada gilirannya akan melahirkan aktivitas-aktivitas yang berpijak pada landasan dzikir. Sementara I think and therefore I am dilahirkan oleh Mantik Akal yang akan melahirkan paham-paham sekuler karena akal yang selalu menjadi barometer kebenaran. Padahal kebenaran itu datangnya dari ALLOH SWT maka janganlah kita menjadi orang-orang yang meragukan kebenaran (AL-QUR’AN) tersebut.
Dalam konteks khazanah keilmuan ekonomi, tampaknya ada beberapa poin penting yang dapat ditawarkan kaitannya dengan masalah paradigma di atas. Apabila sistem ekonomi yang dibangun dengan berbasis pada konsep ilahiyah, maka sebuah keniscayaan bahwa kesejahteraan masyarakat sesuai dengan prinsif ekonomi akan tercapai. nilai-nilai ekonomi yang mengedepankan kebaikan, keadilan, kejujuran dan keterbukaan menjadi kata kunci (key word) dalam proses implementasinya. Dengan pendekatan ekonomi Islam yang komprehensif sebuah keniscayaan wajah peradaban Islam akan kembali jaya. Dalam rumusan Ibn Al-Qayyim bahwa untuk mencapai keberhasilan sebuah peradaban harus mengedepankan konsep The seven creative satisfaction (7 kepuasan). Postulat tersebut adalah:
1) dari ragu kepada yakin,
2) dari kebodohan kepada ilmu,
3) dari lalai kepada ingat,
4) dari khianat kepada amanat,
5) dari riya’ kepada ikhlas,
6) dari lemah kepada teguh, dan
7) dari sombong kepada tahu diri.

Selanjutnya yang patut dipahami kembali adalah bahwa hakikat esensi Islam mengatur berbagai aspek kehidupan tanpa terkecuali pada aspek ekonomi. Pada tataran ini Islam bukan saja mengatur pada aspek-aspek yang sifatnya aqidah dan syari’ah saja, tapi bab muamalahpun menjadi sesuatu yang diperhatikan. Islam mengatur bagaimana hubungan antar sesama terjalin dengan baik, ukhuwah islamiyah menjadi sesuatu yang tidak terlupakan.
Untuk konteks kekinian, sistem ekonomi kapitalis sudah tidak relevan lagi dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat dunia. Buktinya, budaya masyarakat dan para pelaksana ekonomi yang konsumeris tidak lagi mengindahkan nilai kebenaran dan keadilan. Sehingga pada gilirannya akan bermuara pada satu komitmen bersama bahwa adil, merata, tidak main curang adalah keinginan bersama yang harus terpenuhi.
Konsep yang ditawarkan Islam sudah sangat jelas. Islam mengakomodir setiap hajat manusia tanpa mengecualikan orang diluar Islam. Sehingga dalam Islam tidak akan mengenal istilah moneter atau krisis ekonomi.
Krisis ekonomi dunia saat ini bukanlah yang pertama maupun yang terakhir. Boleh dikatakan, sejarah ekonomi Kapitalisme adalah sejarah krisis. Roy Davies dan Glyn Davies (1996), dalam buku The History of Money From Ancient time to Present Day, menguraikan sejarah kronologi krisis ekonomi dunia secara menyeluruh. Menurut keduanya, sepanjang Abad 20 telah terjadi lebih 20 kali krisis besar yang melanda banyak negara. Ini berarti, rata-rata setiap 5 tahun terjadi krisis keuangan hebat yang mengakibatkan penderitaan bagi ratusan juta umat manusia.
Krisis ekonomi sudah terjadi sejak tahun 1907; disusul dengan krisis ekonomi tahun 1923, 1930, 1940, 1970, 1980, 1990, dan 1998 – 2001 bahkan sampai saat ini. Di Asia Tenggara sendiri—khususnya Thailand, Malaysia dan Indonesia—krisis pernah terjadi pada tahun 1997-2002 hingga saat ini.
Untuk kembali mengingat kembali perjalanan sejarah ekonomi Islam kita dapat mengambil ibroh (pelajaran) dari kisah Rasulullah saat membangun Sistem Ekonomi Islam. Sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, pasar dan sistem perdagangan di kota itu dikuasai dan dimonopoli sepenuhnya oleh orang–orang Yahudi. Maju mundurnya masyarakat Madinah saat itu secara tidak langsung diatur oleh kapitalis Yahudi. Di dalam masyarakat terjadi penindasan, penzaliman dan riba dimana–mana. Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, maka selaku pemimpin, Baginda tidak bisa berdiam diri melihat kekacauan masyarakat Madinah yang bersumber pada eksploitasi oleh sistem ekonomi kapitalis. Langkah yang diambil Baginda adalah mengerahkan Sayidina Abdurrahman bin Auf, seorang hartawan, untuk membangun sistem ekonomi bertaraf ALLAH dan Rasul. Sayidina Abdurrahman bin Auf memulai dengan membangun pasar yang dikelola seratus persen oleh umat Islam sendiri berlokasi tidak jauh dari pasar Yahudi, yang kemudian diberi nama “Suqul Anshar“ atau pasar Anshar.
Semua orang Islam dihimbau untuk berjual beli dan melakukan semua aktivitas perdagangan di pasar itu tanpa bekerjasama sedikitpun dengan Yahudi dan tanpa terlibat dengan segala produk atau barang mereka. Dengan semangat perpaduan serta ketaatan pada ALLAH dan Rasul-Nya umat Islam saat itu menumpukan perhatian semata-mata di Suqul Anshar. Bahkan bukan itu saja, karena dalam sistem ekonomi Islam tidak ada penindasan atau riba serta amat memberi kemudahan dan di dalamnya juga terdapat semangat perpaduan dan rasa ber-Tuhan yang tajam, maka banyak orang bukan Islam dan orang luar kota pun tertarik untuk berdagang ke Suqul Anshar.
Hasil dari perjuangan itu maka dalam waktu singkat ekonomi Madinah beralih ke tangan umat Islam, sehingga ekonomi Yahudi yang sudah ratusan tahun, gulung tikar dan bangkrut bahkan mereka menjadi miskin dan akhirnya menutup pasar mereka. Dan karena sebab itu jugalah maka sampai saat ini mereka sangat membenci dan dendam pada umat Islam dan sangat menginginkan secara ekonomi, umat Islam berada dalam kekuasaan mereka tanpa umat Islam menyadarinya. Inilah sistem ekonomi Islam yang benar-benar akan menjamin kesejahteraan masyarakat dan bebas dari guncangan krisis ekonomi.
Sistem ini terbukti telah mampu menciptakan kesejahteraan umat manusia—Muslim dan non-Muslim—tanpa harus selalu berhadapan dengan krisis ekonomi yang secara berkala menimpa, sebagaimana dialami sistem ekonomi Kapitalisme.
Pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab (13-23 H/634-644 M), misalnya, hanya dalam 10 tahun masa pemerintahannya, kesejahteraan merata ke segenap penjuru negeri. Pada masanya, di Yaman, misalnya, Muadz bin Jabal sampai kesulitan menemukan seorang miskin pun yang layak diberi zakat (Abu Ubaid menuturkan, Al-Amwâl, hlm. 596). Pada masanya, Khalifah Umar bin al-Khaththab mampu menggaji guru di Madinah masing-masing 15 dinar (1 dinar=4,25 gr emas). (Ash-Shinnawi, 2006).
Lalu pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/818-820 M), meskipun masa Kekhilafahannya cukup singkat (hanya 3 tahun), umat Islam terus mengenangnya sebagai khalifah yang berhasil menyejahterakan rakyat. Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu, berkata, “Ketika hendak membagikan zakat, saya tidak menjumpai seorang miskin pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan setiap individu rakyat pada waktu itu berkecukupan.” (Ibnu Abdil Hakam, Sîrah ‘Umar bin Abdul ‘Azîz, hlm. 59).
Pada masanya, kemakmuran tidak hanya ada di Afrika, tetapi juga merata di seluruh penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Bashrah. Begitu makmurnya rakyat, Gubernur Bashrah saat itu pernah mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz, “Semua rakyat hidup sejahtera sampai saya sendiri khawatir mereka akan menjadi takabur dan sombong.” (Abu Ubaid, Al-Amwâl, hlm. 256).
Begitulah sejarah emas kaum Muslim pada masa lalu. Dengan melaksanakan semua syariah Allah dalam seluruh aspek kehidupan—termasuk dalam ekonomi—sebagai wujud ketakwaan kepada-Nya, Allah telah menurunkan keberkahan-Nya dari langit dan bumi kepada kaum Muslim saat itu. Mahabenar Allah Yang berfirman:
Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Namun, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu. Karena itulah, Kami menyiksa mereka akibat perbuatan mereka itu (QS al A’raf [7]: 96).
Demikianlah, perpaduan umat Islam saat itu dalam ketaatan kepada ALLAH dan Rasul-Nya, berhasil membangun ekonomi Islam dan sekaligus merobohkan musuh tanpa berperang secara fisik. Dan seharusnya kita sebagai umat Islam meneladani dan mengikuti sunnah Nabi kita sebagai suatu strategi untuk membangun sistem ekonomi Islam.
Keterkaitan dengan Local Wisdom maka paling tidak kita harus mengetahui secara pendekatan terminology dan epistemologi dulu. Istilah local wisdom (kearifan lokal) mempunyai arti yang sangat mendalam dan menjadi suatu kosa kata yang sedang familiar di telinga kita akhir-akhir ini. Banyak ungkapan dan perilaku yang bermuatan nilai luhur, penuh kearifan, muncul di komunitas lokal sebagai upaya dalam menyikapi permasalahan kehidupan yang dapat dipastikan akan dialami oleh masyarakat tersebut. Realita ini muncul ke permukaan karena tidak adanya solusi global yang dapat membantu memberikan jawaban terhadap segala kejadian yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka. Premis-premis umum yang selama ini menjadi standar bersama dalam membedah dan "mengobati" setiap penyakit yang timbul sudah tidak lagi menjangkau permasalahan yang mengemuka di komunitas lokal. Masyarakat yang menghuni di suatu tempat tertentu sudah dapat menyelesaikan permasalahannya dengan solusi yang penuh kearifan tanpa harus memakai standar yang berlaku secara umum.
Di sisi lain, komunitas lokal (local community) menjawab tantangan kehidupan ini dengan kearifan dan kebijaksanaan yang dimilikinya. Kearifan atau kebijaksanaan (wisdom) tersebut muncul bisa jadi karena pengalaman yang selama ini terjadi telah menjadikannya sebagai jawaban dan solusi terhadap masalah yang sedang dihadapinya. Faktor ke-terlibatan para pendahulu, nenek moyang, yang mewariskan tradisi tersebut kepada generasi berikutnya menjadi sangat penting bagi terjaganya kearifan tersebut. Dalam perkembangannya, bisa jadi kearifan yang timbul antar komunitas lokal itu berbeda dengan yang lainnya, tanpa menghilangkan subtansi yang dimiliki dari nilai kearifan tersebut, yaitu berfungsi sebagai solusi terhadap masalah yang ada di sekitanya. Sehingga, dalam beberapa hal akan memungkinkan timbulnya kearifan yang beranekaragam dari komunitas lokal tersebut, walau dengan obyek permasalahan yang sama.
Sebagai misal, orang Jawa yang tinggal di daerah gunung atau pedesaan akan berbeda kearifannya dengan orang Jawa yang tinggal di perkotaan tetkala sama-sama melihat permasalahan mereka di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Orang Jawa gunung-pedesaan akan mempunyai kecenderungan menjadi seorang petani yang tangguh lagi ulet dalam menghadapi tuntutan kehidupan dan lingkungan. Faktor alam juga menjadi penopang bagi diri orang Jawa gunung-pedesaan untuk menjadi seorang petani dari pada menjadi seorang pedagang atau bekerja di pabrik dan industri. Lain halnya dengan orang Jawa yang tinggal dan hidup di daerah perkotaan akan mempunyai kearifan lain yang menuntun dirinya sebagai seorang pedagang atau sebagai karyawan yang bekerja di perusahaan swasta atau bekerja sebagai pejabat di instansi pemerintahan dari pada bekerja sebagai seorang petani.
Contoh sederhana yang lainnya, dalam adat sunda terujar “tong cicing di lawang panto, matak nongtot jodo” (jangan duduk dipintu, nantinya tidak dapat jodo) dan “tong sasapu tipeuting matak jauh rejeki” (jangan menyapu malam-malam, akan menjauhkan rejeki).
Istilah-istilah yang muncul dalam kebiasaan orang sunda ini tidak ada salahnya
***
Ekonomi Islam di Indonesia secara riil sudah dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat muslim pada tingkat keluarga. Bahkan, komunitas muslim tertentu telah men-jalankan tata cara pemenuhan kebutuhan hidupnya dengan penuh kearifan dan kebijak-sanaan. Nilai-nilai wisdom (kearifan) tersebut dijadikan acuan di dalam melakukan kegiatan ekonomi. Dalam hal ini, ekonomi Islam difahami sebagai tata cara pemenuhan kebutuh-an hidup yang orientasinya didasarkan pada aturan syariah Islam untuk pencapaian keridhaan Allah Swt. Terminologi normative ini akan dapat diaplikasikan secara riil oleh umat Islam jika ada standar nilai ketaatan kepada aturan yang sudah baku terhadap nash-nash al-Qur'an atau Sunnah Nabawiyah. Banyak ayat al-Qur'an dan as-Sunnah yang memberikan panduan terhadap umat Islam untuk melakukan kegiatan ekonomi yang sesuai dengan petunjuk-Nya. Larangan riba, promosi jual beli, hidup sederhana, tidak bertindak berlebihan atau melampaui batas (no israf), tidak berbuat kerusakan (no fasad), intensifikasi zakat dan shadaqah, serta perintah bekerjasama dalam usaha adalah deretan ajaran Islam yang mengandung nilai ekonomi.
Perilaku ekonomi umat Islam mengarah kepada nilai-nilai dasar yang telah digariskan dalam ajaran Islam seperti yang ada di atas. Praktek riba sudah divonis sebagai sesuatu yang haram dan harus ditinggalkan oleh pelaku ekonomi muslim. Pengharaman riba ini menjadi sesuatu yang fundamental dalam ekonomi Islam. Bahkan, instrumen riba tersebut menjadi pembeda antara status orang muslim dengan orang kafir. Artinya, pelaku praktek riba sudah tidak diakui keislamannya dan termasuk kepada golongan orang-orang yang kafir. Mengapa ajaran Islam memberikan penegasan seperti ini? Hal ini dikarenakan riba menjadi sesuatu yang mengerikan dan merusak sistem perekonomian. Dengan riba, ada pihak yang didzalimi. Bahkan, riba merupakan salah satu penyebab krisis ekonomi. Keseimbangan (equilibrium) dalam ekonomi akan tercabut tetkala praktek riba menjadi pondasi setiap kegiatan ekonomi. Maka tidak salah, jika masyarakat kita memberikan laqob (gelar) kepada para pengambil riba sebagai "lindah darat". Lintah adalah suatu binatang yang biasa tinggal di air dengan darah sebagai menu kesukaannya. Jika ada "lindah darat" maka mereka adalah pengambil riba yang menghisab darah masyarakat di darat melalui pengembangbiakan uang dengan sistem bunga. Secara historis, pelarangan praktek riba sudah ada sejak zaman dahulu. Sebelum Nabi Muhammad Saw membawa risalah keislaman, Nabi-Nabi terdahulu sudah menegaskan akan keharaman riba. Bahkan, para filosof Yunani Kuno sudah memberikan kecaman yang keras terhadap praktek riba.
Sebagai solusinya, ajaran Islam mempromosikan jual-beli sebagai satu model pengganti praktek riba. Dalam al-Qur'an ditegaskan secara nyata bahwa jual-beli me-rupakan sesuatu yang halal untuk dipraktekkan dalam mengisi kegiatan ekonomi. Dengan adanya jual-beli berarti meneguhkan kembali nilai keseimbangan ekonomi, karena di dalamnya terjadi interaksi antara pihak pemilik barang (penjual) dan pihak yang memiliki uang (pembeli). Realita ini menguatkan terjadinya sirkulasi barang dan uang secara riil. Seumpamanya, selama dalam kurun waktu satu tahun tidak terjadi transaksi jual-beli akan dapat dipastikan adanya penumpukkan barang dan uang pada satu pihak. Oleh karena itu, ajaran Islam memandu umatnya untuk melakukan jual-beli secara tidak langsung telah memberikan andil dalam proses penyehatan kegiatan ekonomi.
Nilai ekonomi Islam yang lain dapat berupa peniadaan sikap berlebihan dan berbuat kerusakan dalam menjalankan aktifitas ekonomi. Kedua perilaku ini termasuk ke dalam negative action yang membawa kepada implikasi terjadinya ketidakseimbangan ekonomi atau bahkan ketidakseimbangan kosmos ini sendiri. Dalam skala ekonomi mikro, perilaku berlebihan akan berakibat pada tidak terdistribusikan barang konsumsi secara merata, karena ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkannya dalam porsi yang tidak wajar, sudah berlebihan, sedang di pihak lain ada yang mengalami kekurangan dalam mengkonsumsi barang yang diperlukan.
Adanya pembalakan liar beberapa hutan di kawasan nusantara memberikan konstribusi peningkatan kerusakan di alam. Aturan normativ syariah Islam menuntun bagi umatnya untuk selalu menjauhi perbuatan yang mengarah kepada kerusakan lingkungan. Beberapa masyarakat yang tinggal di sekitar hutan telah menyadari akan pentingnya keseimbangan hidup di lingkungan sekitar. Masyarakat sekitar hutan telah memahami sekaligus telah mempraktekkan pengetahuan tentang ekonomi lingkungan. Bagaimana cara memenuhi kebutuhan hidup dengan bersandar pada hutan yang ada di lingkungannya? Mereka menjadikan hutan dan lingkungan sekelilingnya seperti nyawa yang ada di badannya. Hubungan simbiosis yang saling menguntungan ini tetap terjaga secara harmoni. Karena, jika hutan yang ada di lingkungan sekitarnya mengalami kerusakan secara tidak langsung akan mengancam jiwanya. Begitulah, sikap kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat pinggiran hutan. Perbuatan mereka ini telah mencerminkan pelaksanaan ekonomi Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Lain halnya, dengan perilaku yang dijalani oleh petani yang tinggal di pedesaan. Kesederhaan telah menjadi gaya hidup mereka. Pagi hari, para petani pergi bersama ke sawahnya. Mereka bercocok tanam dengan berharap agar pengelolaan sawahnya dapat memberikan penghasilan yang nantinya bisa dinikmati untuk memenuhi kebutuhan hidup-nya. Mereka adalah sosok pribadi yang terlatih untuk menjalani hidup dengan selalu tawakkal kepada Allah SWT, Dzat Yang Mengatur kehidupan di alam ini. Hanya karena kemurahan dan anugerah dari Allah Swt, para petani dapat menikmati hasil panen sawah yang dikelolanya dengan penuh kesabaran. Perilaku kehidupan petani ini telah mencermin-kan adanya kearifan lokal (local wisdom) yang terus dipertahankan oleh mereka. Betapa indahnya mengarungi kehidupan ini dengan diterangi oleh sinar-sinar kearifan lokal yang bersumber dari ajaran ekonomi Islam. Wallohu’alam.

Ekonomi Islam Vs Ekonomi Konvensional

I DZIKIR AND I HENCE I AM Versus I THINK AND THEREFORE I AM
(Sistem Ekonomi Islam Versus Ekonomi Kapitalis)


I Think and therefore I am. “Aku Berpikir, dan karena itu Aku Ada” Demikian ungkapan Immanuel Kant. Kant lahir di Konigsberg, 22 April 1724 dan meninggal di kota yang sama 12 Februari 1804. Seorang filsuf Jerman ini telah dipengaruhi oleh Rene Descartes (Perancis, 1596 – 1650). Berarti telah 2 abad sebelumnya Descartes telah meletakkan dasar ini. Pemikiran ini yang memberikan pemahaman kepada kita, bahwa keberadaan (eksistensi) manusia ditentukan oleh seberapa jauh dan seberapa seriusnya kita memanfaatkan dan memberdayakan pemikiran kita. Pandangan Kant, menunjukkan bahwa Akal pikiran menjadi pangkal segalanya dalam melihat realitas kehidupan. Kehidupan merupakan sebuah realitas yang harus dipahami sebagai sebuah konsekuensi akal. Didalamnya termasuk realitas kehidupan ekonomi. Dalam pandangan Kant (dengan Rasionalismenya) dunia adalah sebuah wujud materi yang realistis. Paham ini juga yang kemudian melahirkan pemahaman materialisme atau paham kebendaan. Materi dipandang sebagai sesuatu yang serba bebas nilai (value free). Tidak lebih dari itu. Jika dilihat dari KantDogma ini bertahan lama hingga kurang lebih 2 abad lamanya. Karena itu, maka sistem ekonomi dunia barat (western) meng-Ilah-kan pada paradigma ini.
Teori yang sudah menjadi dogmatis ini kemudian dibantah (diruqyah) oleh Hidayat Nataatmaja. Dalam karya agungnya “General Theory of The Light of Science” (2006) Hidayat membantah keras atas pandangan-pandangan Barat yang sudah berkiblat pada Kantstian ini. “I Think and therefore I am” telah membawa “kesesatan” yang nyata pada berbagai prinsif kehidupan manusia pada zamannya dan zaman berikutnya. Hidayat memandang bahwa alam dan wujud ini tidak serta merta hadir (Ontolgism: sesuatu yang ada) dengan sendirinya, begitupan berbagai materi yang menempel padanya—termasuk manusia—hanyalah merupakan sebagian kecil dari wujud materi alam ini. Sehingga manusiapun dengan AKALnya hanyalah manusia biologis yang tidak berdaya
Pendekatan yang dilakukan oleh Hidayat bukan saja dipandang BENAR secara pendekatan transendental (transendental approach) namun secara pendekatan ilmiah (science approach) pun telah dapat dibuktikan kebenaranya. Bahwa alam ini—termasuk manusia didalamnya—tidaklah wujud dengan sendirinya karena adanya persenyawaan unsur-unsur material saja, tetapi keterikatan dengan sebuah Hukum Ilahiyah yang tidak dapat dijangkau oleh pendekatan AKAL semata yang para pemikir menyebutnya pendekatan ilmiah. Tetapi harus diingat bahwa pendekatan transendental jauh lebih dapat diterima karena ini adalah diluar nalar manusia. Artinya adanya sebuah keterkaitan dengan yang menciptakan Akal. Tentu berbagai kepercayaan (agama) apapun di dunia akan mengatakan sepakat ialah Alloh SWT. Meski dengan bahasa lisan (logat), istilah yang berbeda dengan mengistilahkan “Tuhan” namun intinya sama akan bermuara pada makna luhur yakni Alloh SWT.

Pada hakikatnya kita telah melakukan transaksi transendental saat kita di alam ruh. sebagaimana Alloh SWT menggambarkan dalam Al-Qur’an Surat Al’araf ayat 172:

172. Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".
Ayat tersebut memberikan penegasan pada kita bahwasannya hidup kita berawal dari alam rahim. Alam rahim merupakan alam pertama yang manusia lalui Dalam Alam rahim inilah, saat dimana manusia diciptakan dari setes air mani yang kemudian Alloh rubah menjadi segumpal darah kemudian berubah menjadi segumpal daging, lalu daging itu Alloh bungkus dan dan menjadi sesuatu yang berbentuk. Makna inilah yang kemudian Alloh tiupkan ruh sehingga jadilah apa yang disebut sebagai manusia.
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baik." (QS. Al-Mu'minun : 12-14).
Sebagai manusia, hakikatnya kita telah melakukan transaksi dengan Alloh. Transakti dalam pengertian telah melakukan sebuah persaksian (bersyahadah). Bahwasannya kita telah mengakui bahwa Alloh adalah TUHAN kita. Dr. Murasa menyebutnya sebagai dzikirnya manusia saat di alam rahim. Dzikir adalah getar menggetar antara RUH dalam diri manusia dengan dzat Alloh SWT. Sehingga dalam konteks kekinian dzikir kita saat di alam rahim jangan sampai terkalahkan oleh berbagai bentuk godaan yang memalingkan kita dari kebenaran Alloh SWT.
Pada posisi dimana kita akan dihadapkan dengan dua pilihan, sebagai cerminan potensi antara ilham fujur dan ilham taqwa. Ilham taqwa merupakan cerminan potensi yang mengedepankan akal sehat sehingga membawa diri kepada kebaikan. Sementara ilham fujur merupakan potensi yang mengedepankan akal busuk sehingga membawa diri pada keburukan. Padahal lebih penting dari itu adalah “I DZIKIR AND I HENCE I AM” Saya Berdzikir Maka Saya Ada. .
Versi ini sebenarnya bukan saja berbeda namun lebih dari itu, makna yang tersurat maupun yang tersirat dari kata-kata bijak ini bertentangan dengan pendapatnya Kant. Betapa tidak Kant lebih mengedepankan AKAL, sementara Hidayat Nataatmaja lebih berpijak pada kepastian Agama tentang eksistensi Tuhan (baca: Alloh SWT).
I dzikir and I hence I am merupakan ungkapan suara hati yang dilakukan dengan pendekatan Ilmu Ma’rifat. Sementara I think and therefore I am merupakan ungkapan kata hati yang dilakukan melalui pendekatan Ilmu Pengetahuan. I dzikir and I hence I am dalam bahasa Ibnu Arabi merupakan Mantik Rasa yang pada gilirannya akan melahirkan aktivitas-aktivitas yang berpijak pada landasan dzikir. Sementara I think and therefore I am dilahirkan oleh Mantik Akal yang akan melahirkan paham-paham sekuler karena akal yang selalu menjadi barometer kebenaran. Padahal kebenaran itu datangnya dari ALLOH SWT maka janganlah kita menjadi orang-orang yang meragukan kebenaran (AL-QUR’AN) tersebut.
Dalam konteks khazanah keilmuan ekonomi, tampaknya ada beberapa poin penting yang dapat ditawarkan kaitannya dengan masalah paradigma di atas. Apabila sistem ekonomi yang dibangun dengan berbasis pada konsep ilahiyah, maka sebuah keniscayaan bahwa kesejahteraan masyarakat sesuai dengan prinsif ekonomi akan tercapai. nilai-nilai ekonomi yang mengedepankan kebaikan, keadilan, kejujuran dan keterbukaan menjadi kata kunci (key word) dalam proses implementasinya. Dengan pendekatan ekonomi Islam yang komprehensif sebuah keniscayaan wajah peradaban Islam akan kembali jaya. Dalam rumusan Ibn Al-Qayyim bahwa untuk mencapai keberhasilan sebuah peradaban harus mengedepankan konsep The seven creative satisfaction (7 kepuasan). Postulat tersebut adalah:
1) dari ragu kepada yakin,
2) dari kebodohan kepada ilmu,
3) dari lalai kepada ingat,
4) dari khianat kepada amanat,
5) dari riya’ kepada ikhlas,
6) dari lemah kepada teguh, dan
7) dari sombong kepada tahu diri.

Selanjutnya yang patut dipahami kembali adalah bahwa hakikat esensi Islam mengatur berbagai aspek kehidupan tanpa terkecuali pada aspek ekonomi. Pada tataran ini Islam bukan saja mengatur pada aspek-aspek yang sifatnya aqidah dan syari’ah saja, tapi bab muamalahpun menjadi sesuatu yang diperhatikan. Islam mengatur bagaimana hubungan antar sesama terjalin dengan baik, ukhuwah islamiyah menjadi sesuatu yang tidak terlupakan.
Untuk konteks kekinian, sistem ekonomi kapitalis sudah tidak relevan lagi dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat dunia. Buktinya, budaya masyarakat dan para pelaksana ekonomi yang konsumeris tidak lagi mengindahkan nilai kebenaran dan keadilan. Sehingga pada gilirannya akan bermuara pada satu komitmen bersama bahwa adil, merata, tidak main curang adalah keinginan bersama yang harus terpenuhi.
Konsep yang ditawarkan Islam sudah sangat jelas. Islam mengakomodir setiap hajat manusia tanpa mengecualikan orang diluar Islam. Sehingga dalam Islam tidak akan mengenal istilah moneter atau krisis ekonomi.
Krisis ekonomi dunia saat ini bukanlah yang pertama maupun yang terakhir. Boleh dikatakan, sejarah ekonomi Kapitalisme adalah sejarah krisis. Roy Davies dan Glyn Davies (1996), dalam buku The History of Money From Ancient time to Present Day, menguraikan sejarah kronologi krisis ekonomi dunia secara menyeluruh. Menurut keduanya, sepanjang Abad 20 telah terjadi lebih 20 kali krisis besar yang melanda banyak negara. Ini berarti, rata-rata setiap 5 tahun terjadi krisis keuangan hebat yang mengakibatkan penderitaan bagi ratusan juta umat manusia.
Krisis ekonomi sudah terjadi sejak tahun 1907; disusul dengan krisis ekonomi tahun 1923, 1930, 1940, 1970, 1980, 1990, dan 1998 – 2001 bahkan sampai saat ini. Di Asia Tenggara sendiri—khususnya Thailand, Malaysia dan Indonesia—krisis pernah terjadi pada tahun 1997-2002 hingga saat ini.
Untuk kembali mengingat kembali perjalanan sejarah ekonomi Islam kita dapat mengambil ibroh (pelajaran) dari kisah Rasulullah saat membangun Sistem Ekonomi Islam. Sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, pasar dan sistem perdagangan di kota itu dikuasai dan dimonopoli sepenuhnya oleh orang–orang Yahudi. Maju mundurnya masyarakat Madinah saat itu secara tidak langsung diatur oleh kapitalis Yahudi. Di dalam masyarakat terjadi penindasan, penzaliman dan riba dimana–mana. Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, maka selaku pemimpin, Baginda tidak bisa berdiam diri melihat kekacauan masyarakat Madinah yang bersumber pada eksploitasi oleh sistem ekonomi kapitalis. Langkah yang diambil Baginda adalah mengerahkan Sayidina Abdurrahman bin Auf, seorang hartawan, untuk membangun sistem ekonomi bertaraf ALLAH dan Rasul. Sayidina Abdurrahman bin Auf memulai dengan membangun pasar yang dikelola seratus persen oleh umat Islam sendiri berlokasi tidak jauh dari pasar Yahudi, yang kemudian diberi nama “Suqul Anshar“ atau pasar Anshar.
Semua orang Islam dihimbau untuk berjual beli dan melakukan semua aktivitas perdagangan di pasar itu tanpa bekerjasama sedikitpun dengan Yahudi dan tanpa terlibat dengan segala produk atau barang mereka. Dengan semangat perpaduan serta ketaatan pada ALLAH dan Rasul-Nya umat Islam saat itu menumpukan perhatian semata-mata di Suqul Anshar. Bahkan bukan itu saja, karena dalam sistem ekonomi Islam tidak ada penindasan atau riba serta amat memberi kemudahan dan di dalamnya juga terdapat semangat perpaduan dan rasa ber-Tuhan yang tajam, maka banyak orang bukan Islam dan orang luar kota pun tertarik untuk berdagang ke Suqul Anshar.
Hasil dari perjuangan itu maka dalam waktu singkat ekonomi Madinah beralih ke tangan umat Islam, sehingga ekonomi Yahudi yang sudah ratusan tahun, gulung tikar dan bangkrut bahkan mereka menjadi miskin dan akhirnya menutup pasar mereka. Dan karena sebab itu jugalah maka sampai saat ini mereka sangat membenci dan dendam pada umat Islam dan sangat menginginkan secara ekonomi, umat Islam berada dalam kekuasaan mereka tanpa umat Islam menyadarinya. Inilah sistem ekonomi Islam yang benar-benar akan menjamin kesejahteraan masyarakat dan bebas dari guncangan krisis ekonomi.
Sistem ini terbukti telah mampu menciptakan kesejahteraan umat manusia—Muslim dan non-Muslim—tanpa harus selalu berhadapan dengan krisis ekonomi yang secara berkala menimpa, sebagaimana dialami sistem ekonomi Kapitalisme.
Pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab (13-23 H/634-644 M), misalnya, hanya dalam 10 tahun masa pemerintahannya, kesejahteraan merata ke segenap penjuru negeri. Pada masanya, di Yaman, misalnya, Muadz bin Jabal sampai kesulitan menemukan seorang miskin pun yang layak diberi zakat (Abu Ubaid menuturkan, Al-Amwâl, hlm. 596). Pada masanya, Khalifah Umar bin al-Khaththab mampu menggaji guru di Madinah masing-masing 15 dinar (1 dinar=4,25 gr emas). (Ash-Shinnawi, 2006).
Lalu pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/818-820 M), meskipun masa Kekhilafahannya cukup singkat (hanya 3 tahun), umat Islam terus mengenangnya sebagai khalifah yang berhasil menyejahterakan rakyat. Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu, berkata, “Ketika hendak membagikan zakat, saya tidak menjumpai seorang miskin pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan setiap individu rakyat pada waktu itu berkecukupan.” (Ibnu Abdil Hakam, Sîrah ‘Umar bin Abdul ‘Azîz, hlm. 59).
Pada masanya, kemakmuran tidak hanya ada di Afrika, tetapi juga merata di seluruh penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Bashrah. Begitu makmurnya rakyat, Gubernur Bashrah saat itu pernah mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz, “Semua rakyat hidup sejahtera sampai saya sendiri khawatir mereka akan menjadi takabur dan sombong.” (Abu Ubaid, Al-Amwâl, hlm. 256).
Begitulah sejarah emas kaum Muslim pada masa lalu. Dengan melaksanakan semua syariah Allah dalam seluruh aspek kehidupan—termasuk dalam ekonomi—sebagai wujud ketakwaan kepada-Nya, Allah telah menurunkan keberkahan-Nya dari langit dan bumi kepada kaum Muslim saat itu. Mahabenar Allah Yang berfirman:
Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Namun, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu. Karena itulah, Kami menyiksa mereka akibat perbuatan mereka itu (QS al A’raf [7]: 96).
Demikianlah, perpaduan umat Islam saat itu dalam ketaatan kepada ALLAH dan Rasul-Nya, berhasil membangun ekonomi Islam dan sekaligus merobohkan musuh tanpa berperang secara fisik. Dan seharusnya kita sebagai umat Islam meneladani dan mengikuti sunnah Nabi kita sebagai suatu strategi untuk membangun sistem ekonomi Islam.
Keterkaitan dengan Local Wisdom maka paling tidak kita harus mengetahui secara pendekatan terminology dan epistemologi dulu. Istilah local wisdom (kearifan lokal) mempunyai arti yang sangat mendalam dan menjadi suatu kosa kata yang sedang familiar di telinga kita akhir-akhir ini. Banyak ungkapan dan perilaku yang bermuatan nilai luhur, penuh kearifan, muncul di komunitas lokal sebagai upaya dalam menyikapi permasalahan kehidupan yang dapat dipastikan akan dialami oleh masyarakat tersebut. Realita ini muncul ke permukaan karena tidak adanya solusi global yang dapat membantu memberikan jawaban terhadap segala kejadian yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka. Premis-premis umum yang selama ini menjadi standar bersama dalam membedah dan "mengobati" setiap penyakit yang timbul sudah tidak lagi menjangkau permasalahan yang mengemuka di komunitas lokal. Masyarakat yang menghuni di suatu tempat tertentu sudah dapat menyelesaikan permasalahannya dengan solusi yang penuh kearifan tanpa harus memakai standar yang berlaku secara umum.
Di sisi lain, komunitas lokal (local community) menjawab tantangan kehidupan ini dengan kearifan dan kebijaksanaan yang dimilikinya. Kearifan atau kebijaksanaan (wisdom) tersebut muncul bisa jadi karena pengalaman yang selama ini terjadi telah menjadikannya sebagai jawaban dan solusi terhadap masalah yang sedang dihadapinya. Faktor ke-terlibatan para pendahulu, nenek moyang, yang mewariskan tradisi tersebut kepada generasi berikutnya menjadi sangat penting bagi terjaganya kearifan tersebut. Dalam perkembangannya, bisa jadi kearifan yang timbul antar komunitas lokal itu berbeda dengan yang lainnya, tanpa menghilangkan subtansi yang dimiliki dari nilai kearifan tersebut, yaitu berfungsi sebagai solusi terhadap masalah yang ada di sekitanya. Sehingga, dalam beberapa hal akan memungkinkan timbulnya kearifan yang beranekaragam dari komunitas lokal tersebut, walau dengan obyek permasalahan yang sama.
Sebagai misal, orang Jawa yang tinggal di daerah gunung atau pedesaan akan berbeda kearifannya dengan orang Jawa yang tinggal di perkotaan tetkala sama-sama melihat permasalahan mereka di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Orang Jawa gunung-pedesaan akan mempunyai kecenderungan menjadi seorang petani yang tangguh lagi ulet dalam menghadapi tuntutan kehidupan dan lingkungan. Faktor alam juga menjadi penopang bagi diri orang Jawa gunung-pedesaan untuk menjadi seorang petani dari pada menjadi seorang pedagang atau bekerja di pabrik dan industri. Lain halnya dengan orang Jawa yang tinggal dan hidup di daerah perkotaan akan mempunyai kearifan lain yang menuntun dirinya sebagai seorang pedagang atau sebagai karyawan yang bekerja di perusahaan swasta atau bekerja sebagai pejabat di instansi pemerintahan dari pada bekerja sebagai seorang petani.
Contoh sederhana yang lainnya, dalam adat sunda terujar “tong cicing di lawang panto, matak nongtot jodo” (jangan duduk dipintu, nantinya tidak dapat jodo) dan “tong sasapu tipeuting matak jauh rejeki” (jangan menyapu malam-malam, akan menjauhkan rejeki).
Istilah-istilah yang muncul dalam kebiasaan orang sunda ini tidak ada salahnya
***
Ekonomi Islam di Indonesia secara riil sudah dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat muslim pada tingkat keluarga. Bahkan, komunitas muslim tertentu telah men-jalankan tata cara pemenuhan kebutuhan hidupnya dengan penuh kearifan dan kebijak-sanaan. Nilai-nilai wisdom (kearifan) tersebut dijadikan acuan di dalam melakukan kegiatan ekonomi. Dalam hal ini, ekonomi Islam difahami sebagai tata cara pemenuhan kebutuh-an hidup yang orientasinya didasarkan pada aturan syariah Islam untuk pencapaian keridhaan Allah Swt. Terminologi normative ini akan dapat diaplikasikan secara riil oleh umat Islam jika ada standar nilai ketaatan kepada aturan yang sudah baku terhadap nash-nash al-Qur'an atau Sunnah Nabawiyah. Banyak ayat al-Qur'an dan as-Sunnah yang memberikan panduan terhadap umat Islam untuk melakukan kegiatan ekonomi yang sesuai dengan petunjuk-Nya. Larangan riba, promosi jual beli, hidup sederhana, tidak bertindak berlebihan atau melampaui batas (no israf), tidak berbuat kerusakan (no fasad), intensifikasi zakat dan shadaqah, serta perintah bekerjasama dalam usaha adalah deretan ajaran Islam yang mengandung nilai ekonomi.
Perilaku ekonomi umat Islam mengarah kepada nilai-nilai dasar yang telah digariskan dalam ajaran Islam seperti yang ada di atas. Praktek riba sudah divonis sebagai sesuatu yang haram dan harus ditinggalkan oleh pelaku ekonomi muslim. Pengharaman riba ini menjadi sesuatu yang fundamental dalam ekonomi Islam. Bahkan, instrumen riba tersebut menjadi pembeda antara status orang muslim dengan orang kafir. Artinya, pelaku praktek riba sudah tidak diakui keislamannya dan termasuk kepada golongan orang-orang yang kafir. Mengapa ajaran Islam memberikan penegasan seperti ini? Hal ini dikarenakan riba menjadi sesuatu yang mengerikan dan merusak sistem perekonomian. Dengan riba, ada pihak yang didzalimi. Bahkan, riba merupakan salah satu penyebab krisis ekonomi. Keseimbangan (equilibrium) dalam ekonomi akan tercabut tetkala praktek riba menjadi pondasi setiap kegiatan ekonomi. Maka tidak salah, jika masyarakat kita memberikan laqob (gelar) kepada para pengambil riba sebagai "lindah darat". Lintah adalah suatu binatang yang biasa tinggal di air dengan darah sebagai menu kesukaannya. Jika ada "lindah darat" maka mereka adalah pengambil riba yang menghisab darah masyarakat di darat melalui pengembangbiakan uang dengan sistem bunga. Secara historis, pelarangan praktek riba sudah ada sejak zaman dahulu. Sebelum Nabi Muhammad Saw membawa risalah keislaman, Nabi-Nabi terdahulu sudah menegaskan akan keharaman riba. Bahkan, para filosof Yunani Kuno sudah memberikan kecaman yang keras terhadap praktek riba.
Sebagai solusinya, ajaran Islam mempromosikan jual-beli sebagai satu model pengganti praktek riba. Dalam al-Qur'an ditegaskan secara nyata bahwa jual-beli me-rupakan sesuatu yang halal untuk dipraktekkan dalam mengisi kegiatan ekonomi. Dengan adanya jual-beli berarti meneguhkan kembali nilai keseimbangan ekonomi, karena di dalamnya terjadi interaksi antara pihak pemilik barang (penjual) dan pihak yang memiliki uang (pembeli). Realita ini menguatkan terjadinya sirkulasi barang dan uang secara riil. Seumpamanya, selama dalam kurun waktu satu tahun tidak terjadi transaksi jual-beli akan dapat dipastikan adanya penumpukkan barang dan uang pada satu pihak. Oleh karena itu, ajaran Islam memandu umatnya untuk melakukan jual-beli secara tidak langsung telah memberikan andil dalam proses penyehatan kegiatan ekonomi.
Nilai ekonomi Islam yang lain dapat berupa peniadaan sikap berlebihan dan berbuat kerusakan dalam menjalankan aktifitas ekonomi. Kedua perilaku ini termasuk ke dalam negative action yang membawa kepada implikasi terjadinya ketidakseimbangan ekonomi atau bahkan ketidakseimbangan kosmos ini sendiri. Dalam skala ekonomi mikro, perilaku berlebihan akan berakibat pada tidak terdistribusikan barang konsumsi secara merata, karena ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkannya dalam porsi yang tidak wajar, sudah berlebihan, sedang di pihak lain ada yang mengalami kekurangan dalam mengkonsumsi barang yang diperlukan.
Adanya pembalakan liar beberapa hutan di kawasan nusantara memberikan konstribusi peningkatan kerusakan di alam. Aturan normativ syariah Islam menuntun bagi umatnya untuk selalu menjauhi perbuatan yang mengarah kepada kerusakan lingkungan. Beberapa masyarakat yang tinggal di sekitar hutan telah menyadari akan pentingnya keseimbangan hidup di lingkungan sekitar. Masyarakat sekitar hutan telah memahami sekaligus telah mempraktekkan pengetahuan tentang ekonomi lingkungan. Bagaimana cara memenuhi kebutuhan hidup dengan bersandar pada hutan yang ada di lingkungannya? Mereka menjadikan hutan dan lingkungan sekelilingnya seperti nyawa yang ada di badannya. Hubungan simbiosis yang saling menguntungan ini tetap terjaga secara harmoni. Karena, jika hutan yang ada di lingkungan sekitarnya mengalami kerusakan secara tidak langsung akan mengancam jiwanya. Begitulah, sikap kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat pinggiran hutan. Perbuatan mereka ini telah mencerminkan pelaksanaan ekonomi Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Lain halnya, dengan perilaku yang dijalani oleh petani yang tinggal di pedesaan. Kesederhaan telah menjadi gaya hidup mereka. Pagi hari, para petani pergi bersama ke sawahnya. Mereka bercocok tanam dengan berharap agar pengelolaan sawahnya dapat memberikan penghasilan yang nantinya bisa dinikmati untuk memenuhi kebutuhan hidup-nya. Mereka adalah sosok pribadi yang terlatih untuk menjalani hidup dengan selalu tawakkal kepada Allah SWT, Dzat Yang Mengatur kehidupan di alam ini. Hanya karena kemurahan dan anugerah dari Allah Swt, para petani dapat menikmati hasil panen sawah yang dikelolanya dengan penuh kesabaran. Perilaku kehidupan petani ini telah mencermin-kan adanya kearifan lokal (local wisdom) yang terus dipertahankan oleh mereka. Betapa indahnya mengarungi kehidupan ini dengan diterangi oleh sinar-sinar kearifan lokal yang bersumber dari ajaran ekonomi Islam. Wallohu’alam.

Cari Blog Ini